Annoying Boy

Coconut Books
Chapter #3

Datang Membawa Tanya

VEERA kira awalnya hanya Angie yang akan mewawancarainya tentang kejadian di koridor tadi pagi. Tapi ternyata begitu dia sampai di dalam kelas, seluruh teman kelasnya menghadangnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pengakuan Asyraf pagi tadi. Kalau boleh, ingin rasanya Veera menulikan telinganya agar terbebas dari pertanyaan-pertanyaan yang bahkan jawabannya juga tak dia tahu.

  “Veera, sumpah lo beneran pacarnya Kak Asyraf?” sambar Prita ketika Veera baru saja duduk di kursinya.

“Gue awalnya juga kaget. Tapi kalau Kak Asyraf-nya sendiri yang bilang, nggak mungkin hoax, kan?” pikir Lily.

  “Emang sejak kapan, sih? Kok gue bisa nggak tau, sih?” tanya Sinta, si ratu gosip di angakatannya.

  “Iya ya, kok lo nggak up to date sih, Sin? Biasanya berita beginian kan lo nomor satu,” kata Prita.

  “Ya lo bayangin sendiri, deh. Veera sama Kak Asyraf aja nggak pernah keliatan jalan bareng, bahkan mereka saling nyapa juga gue nggak pernah liat. Malah gue pikir awalnya Kak Asyraf nggak kenal sama Veera. Kak Asyraf gitu loh... nggak bakal level lah kenal sama kalangan kita. Ya, kan?”

 “Iya juga sih.” Prita manggut-manggut.

 “Nah... jadi sekarang mending kita tanya sama yang bersangkutan aja. Biar pas istirahat nanti gue bisa segera menyebar gosip ini ke penjuru sekolah.”

Prita, Lily, dan Angie langsung bersama-sama menoyor kepala Sinta. Anak kelas yang juga sedang mengerubungi meja Veera hanya ikut menyoraki Sinta.

“Temen sendiri masih mau lo gosipin juga? Dasar fake friends!” cibir Angie.

“Ih, gue kan nggak gosip. Buktinya ini gue lagi tanya kebenarannya dulu sama Veera. Ya kan, Veer?”

Veera cuma memutar bola matanya malas. Sedari tadi dia belum juga mengeluarkan jawaban apa pun. Daripada makin ditanya macam-macam, lebih baik diam.

 “Tau nih Veer, lo kok diem aja sih dari tadi? Jawab, doooong...,” desak Prita.

 “Lebih baik kalian jawab saja soal Fisika yang akan saya berikan nanti.”

 Krikk...

  Tiba-tiba Pak Kuncoro masuk ke kelas dan langsung membuat suasana mendadak hening. Semut-semut yang tadi mengerubungi meja Veera dan Angie kini sudah kembali duduk di kursinya masing-masing.

  Diam-diam Veera mengembuskan napas lega. Berkat kedatangan Pak Kuncoro, dia jadi tak mesti menjawab pertanyaan dari teman-temannya. Setidaknya untuk kali ini dia bisa kabur.

  Tapi ternyata dia tak sepenuhnya bisa kabur, karena dari arah samping Angie menyikut lengannya sambil menatap tajam. “Lo nggak bisa kabur dari gue!” desisnya.

Ah, Veera lupa, dia masih punya satu orang lagi orang yang mau menuntut penjelasan darinya. Dan sayangnya, orang itu tak bisa dihindari begitu saja karena Angie bukan orang yang pantang menyerah dalam hal gosip-menggosip.

  Apalagi kalau sudah menyangkut tentang Asyraf atau Arjuna.

***

  Sama seperti Veera, Asyraf pun mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sama dari Evan dan Rico di kelas. Selama pelajaran Bahasa Indonesia, yang gurunya cuma ngomong sama papan tulis doang, Evan dan Rico tak hentinya memberondong Asyraf dengan pertanyaan seputar peristiwa pagi tadi. Apalagi meja mereka berada di barisan paling belakang, mereka jadi makin tak perlu cemas ditegur oleh guru.

  “Jawab dong, Bro.” Rico kembali memaksa Asyraf mengatakan apakah benar Veera adalah kekasihnya atau bukan.

Asyraf akhirnya memutar kepalanya menghadap Rico. Evan yang duduk di kursi sebelah mereka pun ikut memasang telinganya dengan baik agar percakapan Rico dan Asyraf dapat terdengar olehnya. “Kepo banget sih lo!” ketus Asyraf.

  “Yaelah lo, udah nggak anggap kita sahabat lagi emang?”

  Asyraf meletakkan pulpennya di atas buku tulis. “Ya tapi nanti. Kayak nggak punya waktu istirahat aja sih!”

  “Yaelah lo, sama kita aja pake nunggu jam istirahat segala. Bu Dian juga masih sibuk sama papan tulis kok. Ya kan, Van?” Rico meminta pendapat Evan. Evan hanya mengangguk-angguk dari tempat duduknya.

  Akhirnya setelah mengembuskan napas panjang, Asyraf pun menyerah. “Okey okey!”

  “Nah gitu dong! Masa lo tega sih ngebiarin kita mati penasaran?” Rico nyengir-nyengir nggak jelas. “So, dia bukan pacar lo beneran, kan?”

 “Sebelum tadi pagi, bukan.”

Rico mengangguk-angguk paham. “Trus kenapa tiba-tiba lo ngakuin dia sebagai pacar lo? Biar si Bella nggak ngejar-ngejar lagi, gitu?”

 Asyraf mengangguk.

 “Tapi gue nggak yakin Bella bakal beneran mau mundur. Dia pasti malah semakin beringas.”

  “Seenggaknya kalau gue lagi gandeng Veera, dia nggak bakal berani ngemis-ngemis minta balikan lagi, karena gue tau seberapa tinggi dia ngejaga harga diri dia di depan adik kelas.”

  “Iya, tapi itu malah lebih beresiko buat si cewek itu. Dia bakal diserang Bella dan—”

  “Gue yang bakal jadi tamengnya.” Asyraf langsung memotong ucapan Rico. Rico pun mengedikkan bahunya sambil sekilas melirik Evan. “Bagus deh kalau gitu,” ucapnya.

 “Tapi kenapa tiba-tiba tuh cewek yang lo akuin pacar? Kan masih banyak tadi cewek-cewek yang lebih oke dari dia di sekeliling kita. Kenapa dia?”

Asyraf menggeram. “Lo kok jadi cowok bawel banget, sih?” omelnya pada Rico.

 “Yaelah lo, ini tuh namanya perhatian, Bro.”

“Iya, perhatian. Jadi lebih baik kalian memperhatikan saja apa yang saya jelaskan di depan!” Suara Bu Dian tiba-tiba terdengar di samping meja Rico dan Asyraf. Keduanya langsung menutup mulut dan menunduk pura-pura membaca buku.

  Biasanya, sih, kalau mereka kepergok sedang berbicara di pelajarannya, Rico pasti akan memberikan senyuman paling menawannya pada Bu Dian dan pura-pura menyapa Pak Agus—gebetan Bu Dian—di jendela, sehingga Bu Dian akan langsung berpaling ke arah jendela dan Rico bisa langsung kabur.

  Tapi sekarang sama sekali tidak bisa. Berbalik saja dia sudah tidak mampu. Telinga kirinya sudah ditarik kencang oleh Bu Dian sampai terasa panas.

  “Ampun, Bu....”

  “Tidak ada ampun lagi untuk kamu, Rico. Sekarang kalian berdua keluar dari kelas saya!” tegas Bu Dian.

  “Alhamdulillah!” ucap Rico tak sengaja yang membuat Bu Dian melebarkan matanya dan semakin menarik telinga kirinya.

  “Baik, tidak hanya keluar kelas, besok pagi kalian harus menyerahkan sebuah puisi kepada saya, seperti contoh yang ada di papan tulis. Bacakan dengan lantang di ruang guru nanti, dan puisi itu harus dari hasil tulisan kalian sendiri! Paham?”

 “P-paham, Bu!” jawab Rico sambil meringis.

“Paham Asyraf?”

 Asyraf hanya mengangguk.

 “Sekarang keluar!” perintah Bu Dian dan mereka berdua pun segera bangkit dari kursi dan keluar kelas.

  Di luar kelas, Asyraf langsung melirik tajam ke arah Rico. Ini adalah kali pertama dalam sejarah hidupnya dia dikeluarkan dari kelas karena mengobrol. Selama ini, Asyraf terkenal sebagai murid yang pandai dan tidak pernah melanggar tata tertib. Oleh karena itu, dia banyak disukai oleh guru-guru, termasuk Bu Dian. Tapi, hari ini nasib buruk telah menimpanya.

 “Gara-gara lo!” sinis Asyraf.

 “Sekali-kali biar punya pengalaman, Raf,” jawab Rico enteng.

  Asyraf hanya melirik tajam dan berjalan menyusuri koridor. 

“Mau ke mana, Bro?”

 Asyraf menoleh. “Toilet. Mau ikut juga?” Rico meringis. “Thank you, Bro!”

Di tengah-tengah perjalanan menuju toilet, Asyraf menghentikan langkahnya secara tiba-tiba tepat di depan mading sekolah yang berada di lantai satu. Awalnya, dia hanya ingin melihat jadwal turnamen futsal antar kelas untuk acara ulang tahun sekolah minggu depan, namun matanya tak sengaja melihat sebuah kertas yang tertempel di pojok kanan mading.

 Seketika bibirnya pun menyunggingkan senyuman miring yang Tampak menyeramkan. Sebuah ide muncul di kepalanya.

***

  Begitu bel istirahat kedua berbunyi, Veera buru-buru bangkit dari kursinya dan kabur dari kelas. Dia tak ingin kejadian tadi pagi terulang lagi. Kupingnya sudah tidak kuat lagi mendengar pertanyaan aneh-aneh dari teman kelasnya. Jadi, sebelum mereka menyerbu ke mejanya, Veera sudah memasang kuda-kuda untuk segera kabur.

 “Jangan lupa tugasnya dikumpulkan hari Jumat. Selamat siang, semuanya.”

 “Siang, Pak....”

Akhirnya Veera menghela napas lega, pelajaran telah selesai. Begitu Pak Darmini melangkah hendak keluar kelas, Veera langsung bangun dan membuntutinya dari belakang. Tapi memang dasarnya sial, Angie menahan lengannya kuat-kuat di atas meja. “Lo nggak bisa kabur lagi!” desisnya ngeri.

 “Please..., gue bukannya kabur dari lo, tapi dari anak kelas,” lirih Veera dengan wajah memelas.

 “Percuma juga lo keluar, di depan kelas bakal ada Kak Asyraf, lo malah makin nggak bisa kabur kalau Kak Asyraf narik lo lagi kayak tadi pagi.”

 “Trus gue harus ke mana, dong?” “Di kelas aja.”

 “Gimana caranya? Anak kelas bakal ngerubungin gue lagi kayak tadi pagi.”

 “Keluarin jurus andalan lo.” Senyuman licik terukir di bibir Angie. Veera yang langsung mengerti maksud senyuman itu, lantas menatap Angie penuh ragu. Namun, Angie kembali berkata, “Buruan sebelum mereka sampai ke meja kita!”

 Veera diam sebentar lalu melirik ke arah Ojan, cowok culun yang sejak pertama masuk sekolah sudah mengejar-ngejar Angie. Meskipun Angie selalu menolak mentah-mentah. Cowok paling bodoh yang mau saja dibodohi oleh Veera dan Angie. Karena kebodohannya—atau entah ketulusan cinta—itu, tidak jarang juga Ojan dijadikan umpan oleh Veera dan Angie jika mereka berdua sedang dalam situasi tak mengenakan. Seperti sekarang ini contohnya.

  Sambil membenarkan kacamatanya, Ojan tersenyum manis dan gugup karena Veera—sahabat cewek yang dia suka—sedang melihat ke arahnya. Seharusnya Ojan tahu dan sudah hafal jika Veera menatapnya seperti itu, sudah pasti ada sesuatu buruk yang akan menimpanya. Tetapi, Ojan masih tetap saja bodoh. 

Ojan, maafin gue, ya. Entah untuk keberapa kalinya, ucap Veera dalam hati sambil menatap haru ke Ojan sebelum memulai aksinya. 

“Buruan, Veer!” desak Angie lagi.

 Veera sempat memandang Angie kesal sebelum melancarkan aksinya. “Guys... Ojan bilang kemarin dia baru menang undian kuis di TV. Dan kita semua bakal ditraktir makan di kantin sepuasnyaaaa! Sekarang, buruan!” jerit Veera yang langsung membuat kelas gaduh. Lalu dalam hitungan detik, kelas langsung sepi. Semua penghuninya sudah berpindah ke kantin. Hanya tinggal Veera, Angie, dan Ojan yang berada di dalam kelas.

  “Maafin Veera, ya, Ojan,” ucap Angie sok sedih kepada Ojan. Melihat Angie yang menunduk penuh rasa bersalah, Ojan jadi tak sanggup untuk marah. Padahal dia baru saja ingin memproteskan pengumuman ngaco yang tadi disiarkan Veera.

  “Nggak apa-apa kok, Angie,” jawab Ojan sambil mengangguk dan tersenyum manis.

  Setelah Ojan keluar dari kelas, Veera kembali duduk dan mengembuskan napas panjang. Menempelkan pipi kanannya ke atas meja. “Kita jahat banget tau nggak,” lirihnya.

  Angie mengibaskan tangannya. “Udah, biarin aja. Nanti bakal gue ganti kok uangnya dia. Lagian juga kita jadi ngebantu pedagang kantin bikin laris dagangan mereka, kan?”

 “Tapi nggak gitu juga!”

 “Udahlah, biarin. Sekarang adalah waktunya gue buat mengintrogasi lo!” Angie memasang ekspresi wajah khas ibu-ibu marah yang anaknya meninggalkan handuk basah di atas tempat tidur.

Veera mendadak lesu dan semakin membenamkan kepalanya ke meja. Keningnya kini dia tempelkan ke atas meja. Matanya terpejam sambil mencoba menarik napasnya teratur. “Silakan tanya apa pun yang lo mau. Gue tetep nggak akan bisa jawab karena gue sendiri juga nggak tau apa jawabannya.”

  “Nggak usah lebay, deh! Gue cuma mau nanya kapan kalian jadian?”

  Baru saja Veera hendak membuka mulutnya untuk menjawab, Angie sudah keburu bertanya lagi tanpa jeda. “Sejak kapan kalian saling kenal? Lo kasih pelet apa ke Kak Asyraf sampe dia mau pacaran sama cewek biasa kayak lo? Kenapa juga selama ini kalian nggak pernah keliatan jalan bareng, kayak pasangan pada umumnya? Dan nih ya, kalau gue nggak salah denger, lo tadi pagi bilang kalau lo nggak suka sama sikapnya Kak Asyraf yang sering nolakin cewek-cewek. Eh, tapi ternyata diem-diem kalian malah jadian. Jadi, itu ya yang namanya nggak suka?”

  Veera mengacak rambutnya frustrasi mendengar Angie tak hentinya memberondongnya dengan pertanyaan. Kalau tidak ingat Angie sering memberinya tebengan setiap pulang sekolah, sudah Veera sumpal mulut Angie pakai penghapus papan tulis.

  “Oke, sekarang waktunya jawab! Gue udah laper pengen ke kantin nih. Buruan!” desak Angie dengan tangan bersidekap.

  Veera mengangkat kepalanya dan menatap Angie dengan wajah frustrasinya. “Gimana gue mau jawab kalau lo aja nanyanya kayak kereta api gitu. Nanyanya bisa satu-satu aja, nggak?”

  Angie menghela napas malas. “Dasar bolot! Oke, gue ulangi satu-satu. Sejak kapan kalian jadian?”

  “Nggak tau. Gue nggak pernah merasa pacaran sama dia,” jawab Veera yang langsung membuat Angie menganga lebar.

Lihat selengkapnya