Sesuatu menghantam lantai di samping kakinya. Namun fokusnya tak teralihkan. Tampak murung dengan pandangan kosong yang menyiratkan kesedihan. Cowok yang semula berniat menggodanya pun, mengurungkan niat. Memungut bola basket yang tadi sengaja ia lemparkan lalu mengapit benda bundar itu di antara lengan dan pinggang.
"Kenapa?." tanyanya.
Cewek yang ditatapnya tidak menjawab. Beralih mengeruhkan air mukanya, sampai mata dan hidungnya memerah. Berusaha keras menahan isakan yang akan pecah, namun gagal. Ditambah lagi dengan telapak tangan yang mampir mengelus kepalanya. Alina gamang sendiri.
Hiks,
Alina dipaksa menghadap kepada cowok itu. Angin sepoi di atap menerbangkan anak rambutnya sampai menutupi wajah, tapi Ia sudah terlanjur tidak peduli.
Tangisnya tak mau berhenti, melawan perintah Alina. Tangannya menghapus jejak air mata yang jatuh. Tapi, setelah dihapus, air mata yang baru meluncur lagi. Alina terengah melawan tangisnya sendiri. Hingga pada akhirnya ia mengaku kalah. Menarik bagian depan kemeja sosok di hadapannya untuk memeluk erat empunya.
"Romeo.." panggilnya tertelan isakan.
Romeo sudah tidak peduli bola basket yang tadi dipegangnya menggelinding ke mana. Berganti balas memeluk Alina sama eratnya. Berusaha menenangkan adik sepupu kesayangannya yang tengah menumpahkan kesedihan.
Alina berteriak. Cengkramannya pada kemeja belakang Romeo mengerat. Menerobos pertahanan dirinya sendiri yang tadinya ingin merahasiakan hal ini, dengan meraung sedih menceritakan tentang kejadian di kantin.
Hingga cerita itu berakhir pun, ia tetap pada posisinya. Menangis keras karna luka di hati terasa panas dan menyakitkan. "Alina sayang dia, Rom."
Romeo tidak menjawab. Membiarkan mereka tetap di posisi itu walaupun bel masuk sudah berbunyi nyaring beberapa saat yang lalu.
Sampai beberapa menit berselang, Alina lemas. Tenaganya terkuras habis sedangkan ia masih sesegukan. Perlaharan ia mengurai pelukannya. Cowok itu menatap Alina serius. Mengambil kedua bahunya untuk dicengkram lembut dan berkata tegas. Memerintah sebagai seorang kakak yang menyayangi adiknya serta ingin menjauhkan sang adik dari segala mara bahaya, sekalipun itu adalah cintanya sendiri.
"Lupakan Damian, Alina!."
***
Semenjak masuk kelas, Angel, Beni, Yovan, Jordan, juga Ian belingsatan sendiri. Bahkan Bu Rahmi, yang terkenal lembut dan sabar, pun dibuatnya berteriak marah dan menggebrak meja dengan penggaris akibat suara berisik 5 orang yang sibuk saling menyalahkan. Juga ketika tadi Bu Rahmi mengabsen di tengah jam pelajaran, mendapati Alina, sahabat mereka tidak berada di kelas.
Setelah kejadian di kantin tadi, mereka semua sepakat mencari Alina. Takut sekali jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apalagi mengingat keadaan akhir cewek itu saat meninggalkan mereka . Ian adalah pihak yang paling merasa bersalah atas hilangnya Alina. Tidak dalam kasus hilang yang serius, memang. Cewek itu tidak mengangkat telpon ataupun membalas pesan. Mereka yakin sekali bahwa Alina masih di kawasan sekolah. Tetapi, Bel tanda masuk jam pelajaran selanjutnya mengacaukan keadaan. Terpaksa, dengan sangat berat hati mereka masuk ke kelas. Tetapi tak juga memperoleh ketenangan. Semua kebingungan hingga mulai lah aksi tunjuk menunjuk dan saling menyalahkan yang mengacaukan keadaan kelas.
"Ini semua gara-gara Ian!." bentak Angel. Cewek itu sudah puluhan kali menghubungi ponsel Alina. Hingga lelah dan akhirnya menunjuk Ian yang duduk di depannya.
Ian langsung menoleh ke belakang, tempat Angel duduk."Eh, gue becanda ya, tadi. Kalo gue tau dia bakal nangis juga gak gue gituin"
"Kalo Lo mikir dulu tadi, gak bakalan kayak gini." Sinis Yovan, diangguki oleh Beni yang duduk di sebelahnya.
"Lo kok nyolot sih, sat?!." teriakan Ian mengundang perhatian seisi kelas.
Bu Rahmi yang sedang menerangkan pelajaran sejarah menurunkan buku di tangannya.
"Jangan berisik, kalian mengganggu teman yang lain. Duduk, Ian" tegur Bu Rahmi.
Alih-alih Ian kembali duduk, Malah Angel yang ikutan berdiri. Menghadap ke Ian dengan wajah memerah.
"Dasar kekanakan!. Gara-gara Ian, Alina hilang!" bentaknya.
"Kok lo gak ngaca sih, ngel. Lo ke WC deh. Pantengin muka lo. Udah sedewasa apa." desis Ian.
Yovan dan Beni tersulut. Tidak pantas Ian memperlakukan Angel seperti itu. Keduanya ikut berdiri menuju ke arah Ian. Tanpa aba-aba, Yovan Mendorong bahu Ian keras hingga terduduk di kursinya. "Jaga ya, omongan Lo."