Annoying Healer

Harisa Maksalini
Chapter #4

#AH; 4

Morgan selalu malas membenahi sesuatu. Terlebih, saat tidak sedang dalam mood yang baik. Mungkin itulah, salah satu alasan Nenek menertawainya saat Ia bilang akan mencoba kerja paruh waktu. Seperti sekarang, satu keranjang penuh pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran dengan isi berceceran di sekitarnya, dibiarkan begitu saja. Sedangkan yang ditugaskan untuk melipat pakaian itu tengah sibuk bermain game di ponsel.

Ini hari minggu pagi yang membosankan. Morgan mendapat pesan dari Jordan bahwa mereka akan bermain bersama untuk menaikkan peringkat permainan. Maka itulah, yang dilakukan Morgan sejak satu jam yang lalu. Mengabaikan tugas dari Nenek.

Saking fokusnya dengan permainan, Morgan sampai tidak menyadari saat Nenek membuka pintu kamar. Tertangkap basahlah, Ia.

Cowok itu sudah akan menjerit kegirangan karena memenangkan permainan. Namun urung, saat mendongak ditemukannya di muara pintu kamar, sang Nenek bersedekap dengan senyum mencurigakan. Tentu saja morgan langsung tersadar dan bangkit dari posisi terkurapnya. Melemparkan ponsel begitu saja.

Nenek memandangi Morgan yang sekarang menyengir tak bersalah. Tangannya sudah tidak lagi bersedekap melainkan melancarkan terikan di telinga morgan hingga cowok itu terpekik.

"Aduhh, Nekk.."

Tarikan di telinga terasa semakin kuat kala Nenek bersimpuh untuk memungut pakaian yang berserakan. Sengaja melakukan aktifitas itu dengan lamban supaya si cucu dapat merasakan hukuman lebih lama lagi.

"Nekk, sakitt. Iya, Morgan lipet bajunyaaaa." Bujuk Morgan, mengerang kesakitan.

Akhirnya Nenek melepaskan telinga cucunya yang sudah memerah. Tertawa pelan karena Morgan sampai bersandar di ranjang hanya untuk meredakan rasa sakit. Tidak berani mengeluh pada Nenek dan cuma mampu mengelus-elus daun telinganya.

"Nenek ke bawah dulu ya, Morgan. Kalo Nenek balik lagi kerjaan masih belum selesai,.." ucapan lembut itu sengaja digantungkan. Morgan sampai meneguk ludah karenanya.

Buru-buru Ia laksanakan tugas dari Nenek. Melipat pakaian dan memisahkan baju seragam sekolah untuk disetrika. Menyusun kaus kaki di dalam laci, sekaligus menata ulang susunan pakaian di lemari.

Morgan menyudahi kegiatannya saat merasa semua tersusun rapi dan tidak akan membuat Nenek memarahinya lagi. Membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, Morgan meraih ponsel hitam di dekat kepala, dan mengecek notifikasi di dalamnya. Ada dua panggilan tak terjawab dari Jordan, dan satu lagi dari Yovan. Sudah pasti menanyai alasan dirinya yang tadi hilang tanpa kabar sesudah permainan.

Seingatnya, Morgan tidak pernah melipat bajunya sendiri. Semua dilakukan Bik Ipah, Asisten Rumah Tangga di rumahnya. Ah, bukan. Rumah Ayahnya. Terbiasa hidup mudah membuatnya kelelahan beradaptasi dengan kemandirian. Selalu dihadapkan dengan pilihan yang instan sehingga sulit mengerjakan kegiatan yang tidak biasa dilakukannya. Seperti tadi, contohnya.

Nenek memang dengan tegas mengatakan tidak akan menyewa Asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah. Sengaja ingin membiasakan morgan pada situasi ini agar tidak terbayang lagi dengan kehidupannya yang dahulu. Padahal yang dikhawatirkan Morgan bukan dirinya sendiri, melainkan Nenek.

Selain Morgan, Nenek juga merupakan orang yang tersakiti akibat tragedi itu. Apalagi ketika Morgan terbaring di rumah sakit dengan keadaan buruk. Nenek sempat pingsan dan terbaring tak sadarkan diri beberapa jam.

Umurnya yang sudah menginjak 57 tahun, sebenarnya membuat Morgan sedikit banyak resah. Neneknya itu keras kepala sekali sampai Morgan selalu kalah jika beradu pendapat. Tak dapat dipungkiri, Morgan selalu tidak tenang meninggalkan Neneknya di rumah seorang diri. Bisa saja hal buruk terjadi, misalnya Wanita paruh baya itu jatuh dan terluka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa menolongnya. Morgan tidak ingin hal buruk terjadi pada Nenek. Satu satunya orang yang ia miliki saat ini.

Nenek menepati ucapannya tadi, kembali ke kamar Morgan beberapa saat kemudian. Situasi sudah lebih rapi dari sebelumnya. Pakaian berserakan sudah tidak tampak lagi dimana-mana. Ia tersenyum. Berjalan pelan menuju tempat, dimana cucunya itu berbaring telungkup, matanya terpejam. Morgan terlelap.

Lihat selengkapnya