Annoying Healer

Harisa Maksalini
Chapter #6

#AH; 6

Hari ini adalah kali pertama Morgan menyentuh setir mobil setelah sekian lama. Rasanya seperti menemukan lagi kebahagian yang hilang, membuat mood-nya super duper baik pagi ini. Morgan suka sekali mengendarai mobil. Ada yang membuncah setiap kali Ia duduk di kursi kemudi dan mengendalikan laju kendaraan itu.

Dahulu sekali, Ia menulis Sopir sebagai cita-cita di masa depan, saking sukanya. Tepat sehabis belajar mengendarai mobil untuk pertama kali. Tapi Bunda melarang. Bunda bilang, "Sopir itu bukan cita-cita, Morgan. Kamu bisa nyetir kapan aja. Kita bisa punya banyak sekali mobil nanti. Tapi cita-cita, harus lebih dari pada itu"

Saat itu Morgan marah padanya. Menganggap Bunda tidak mengerti keinginannya. Morgan mengunci diri dalam kamar, menolak mendengarkan penjelasan. Dia juga membantah dan tidak mau pergi sekolah.

Untuk memori yang satu itu, Morgan selalu gagal menahan air matanya untuk luruh. Rasa sesak seperti sehabis dihimpit sesuatu yang berat, mengingat prilakunya dulu pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

Pada akhirnya, Bunda pergi dengan kepedihan. Meninggalkan Morgan yang terlambat menyadari kesakitan yang diderita Bunda.

Bunda, Morgan minta maaf.

"Jangan ngebut, hati-hati nyetirnya. Nggak perlu buru-buru ini masih pagi banget" adalah kalimat yang sama nomor urut ke 32 pagi ini. Dikatakan sejak membangunkan Morgan hingga cowok itu hendak masuk ke mobil. Dalam durasi 20 menit.

Morgan hanya tersenyum geli dan meng-iyakan tanpa lelah. Mengerti betul, Nenek melakukan hal itu dengan berlebihan karena menyayanginya.

"Morgan berangkat. Nenek baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa telepon Morgan, ya."

Pada akhirnya, Nenek hanya dapat menghela napas. Sebenarnya masih sangat tidak rela membiarkan Morgan mengendarai mobil sendiri. Tetapi cucunya terus bersikeras. Kejadian mengerikan tempo hari adalah alasannya. Yang saat ini bisa Ia lakukan hanya mendoakan keselamatan Morgan.

Morgan yang sudah mencium kedua sisi pipi Nenek beralih menyalimi wanita tua itu.

Sebenarnya, lama tidak melakukan ini juga menimbulkan kegugupan dibenaknya. Namun Morgan sudah bertekad tidak akan dikalahkan lagi oleh ketakutan. Sudah cukup sisi gelap menakut-nakutinya menggunakan kenangan masa lalu. Ia tidak akan terpedaya lagi. Maka dari itu, Morgan mengambil napas sebanyak mungkin dari hidung dan melepaskan melalui mulut. Berusaha keras menghilangkan ragu, sekaligus menggapai ketenangan.

Memasukkan persneling, Morgan mulai mengemudi lamban menuju sekolah

***

Morgan tiba di sekolah yang masih sepi. Berdecak sekali, dan membenarkan asumsi Nenek yang menyatakan Ia terlalu semangat pergi ke sekolah dan berangkat sangat-sangat lebih awal dari murid lainnya.

Masih bertahan di dalam mobil, Morgan merogoh tas sekolahnya untuk menemukan ponsel.

Benda itu dihidupkannya, kemudian mendial nomor seseorang.

Bunyi nada panggil terdengar sesaat sebelum suara di seberang sana terdengar.

"hmm?"

Hanya berupa gumaman lesu yang disuarakan dengan paksa. Morgan merotasikan matanya. Belum menyahuti suara orang yang baru saja bangun dari tidur itu.

Ah, karena Morgan sedang dalam mood baik. Maka dari itu, dengan senang hati dia akan membantu Ian bangun lebih cepat.

"Halo?" ulang Ian.

Diletakkannya ponsel di dashboard. Menarik nafas panjang-panjang. Morgan memastikan lagi keadaan di sekitar yang ternyata memang masih sepi, sebelum berteriak sekencang mungkin di dekat microphone ponselnya.

"WOY BANGUN, YAN. UDAH PAGI!!!."

Di tempat tidurnya, Ian terlonjak kaget. Sontak saja merubah posisi berbaringnya menjadi duduk dan melempar ponsel yang masih dalam panggilan tersambung itu ke sembarang arah. Telinganya berdengung hingga harus ditutup dengan telapak tangan.

Menyadari bunyi tak nyaring, Ian terburu memungut ponselnya dari lantai dekat kaki ranjang. Bahkan hampir saja menjatuhkan bola matanya, mendapati retak pada kanan bawah layar ponsel itu. Darahnya tiba-tiba naik ke ubun-ubun.

Memeriksa benda itu sebentar, Ian sedikit lega dengan keadaan badan ponsel yang lainnya, dalam keadaan baik-baik saja. Tapi suara terbahak seseorang yang menjadi dalang di balik semua ini sungguh mengganggu.

"BANGKE!." Teriak Ian keras-keras sampai urat lehernya menegang.

Morgan menambah volume tertawanya. Mendengar kehebohan yang terjadi, sepertinya rencananya barusan berhasil baik.

Mengusap air mata di ujung matanya, Morgan mengatakan kalimat bernada menggelikan. "Selamat pagi, Iann~"

Lihat selengkapnya