Angkutan umum yang penuh sesak menghambat laju pernapasan Yumna. Ia selalu tidak nyaman dengan keramaian. Apalagi dibuat kesulitan karenanya. Tapi Yumna punya cukup akal untuk mengerti kondisi. Maka dari itu, meskipun sudah sepanjang jalan terdesak-desak oleh penumpang lain yang terus bertambah, Yumna tetap diam saja tidak mengeluh. Membiarkan dirinya jauh dari rasa nyaman beberapa saat lagi saja demi sampai ke tempat tujuan.
Yumna yakin angkot itu sudah terlalu penuh bahkan untuk satu orang lagi. Tapi sopir angkot tetap berhenti ketika matanya menangkap penumpang di sisi jalan.
Yumna menelengkan kepala heran. Di dalam pun, ada seorang pria dewasa tampak tidak duduk dengan layak sehingga hanya bisa menahan berat tubuhnya dengan kaki yang pasti sudah terasa pegal sekarang.
Mau sepenuh apalagi?,
Tepat saat kernet angkot membimbing penumpang wanita itu masuk, Yumna menyela keluar terlebih dahulu.
"sampai sini saja," katanya.
Setelah membayar ongkos, sopir angkutan umum mengucapkan terima kasih dan melajukan kendaraannya. Bahu Yuma merosot lesu, ia menghela napas lemah. Tempat tujuannya masih cukup jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Namun tidak ada pilihan lain, Yumna memilih melangkahkan kakinya saja.
Ah, lelah sekali. Tidak mendapatkan kelegaan meskipun sudah bisa menghirup udara segar setelah berdesakan di angkot tadi. Atau lebih tepatnya, kebingungan bagaimana membuat benaknya bebas dari tekanan.
Yumna selalu memikirkan masa depan apa yang akan di dapatnya nanti. Apakah menyenangkan, apakah malah menyulitkan dirinya. Bukannya ingin tergesa-gesa, hanya saja ia terlalu penat dengan kehidupan yang menyuguhkan nasib kurang baik hingga mau tak mau Ia akan mengeluh pada akhirnya
Yang ada di benaknya saat akhirnya sampai di bangunan sederhana bertingkat dua itu adalah, tenang. Seperti yang sudah-sudah, hanya dengan berjalan di halaman ber-rumput rapi di depan sana seolah membuat beban di pundaknya terangkat dengan cara ajaib yang menyenangkan.
Tidak perlu mengetuk pintu karena memang sudah terbuka, Cewek itu disambut dua pasang mata jernih yang menampilkan sorot sama.
Beberapa saat kemudian,
"Kak Yumna!" pekik mereka girang. Langsung melepaskan begitu saja robot ditangan dan menumbrukkan tubuh mereka kepada Yumna yang sudah berjongkok menyambut kerinduannya.
Pelukan itu sangat erat. Yumna menyukai sensasi hangatnya. Beberapa detik kemudian Yumna mengurai dekapan. masih merangkul, namun berusaha menemukan wajah yang dirindukannya.
"Bintang, Bulan, bagaimana kabarnya?" tanya Yumna.
Kedua bocah kecil itu mengerjap menatap Yumna, Saling menatap sejenak. Dan ketika Yumna menjungkitkan alis guna bertanya, alih-alih menjawab, Bintang dan Bulan malah menangis keras. Membuat Yumna terbelalak kaget.
"Kenapa malah menangis?"
Dari arah tangga , derap langkah banyak kaki terdengar. Memunculkan sosok demi sosok manusia yang menghuni rumah. Menemukan kehadirannya, Yumna melupakan sejenak tangisan dua bocah di pelukannya guna menyapa.
"hy"
Setelah mengatakan itu, Yumna kembali menenangkan bulan dan bintang. Tapi menit selanjutnya, justru jerit tangis semakin banyak terdengar.
Yumna mendongak, lalu tersenyum. Dia diam saja, membiarkan anak-anak lain ikut menyambut kedatangannya dengan haru. Memeluk dirinya beramai-ramai hingga Ia sesak oleh kehangatan.
"Hee, kak Yumna dari mana aja"
"Aku kira kak Yumna tidak akan datang lagi, hiks"
"Kak Yumna, kami rinduu"
"kangenn"
"Kak Yumna"
"kak Yumnaaa"
Rengekan itu seperti suara merdu yang menggelitik sudut bibirnya untuk berkedut. Selanjutnya semakin menjadi ketika para anak membebaskan ia dari pelukan. Menatapnya cemberut, sinis, dan berbagai sorot permusuhan yang sama. Senyum Yumna sudah mengembang sempurna.
Berada di antara anak-anak panti selalu sukses membuatnya tersenyum. Lepas begitu saja tanpa halangan.
"Iya, maaf. Kakak sedang banyak kegiatan sekolah" kata Yumna lembut.
"Kak, ayo mainn!" Doni bocah berusia 7 tahun, tidak mengerti situasi. Berseru girang sambil menunjukkan robot yang serupa dengan milik Bulan dan Bintang
Ia sudah akan menjangkau Yumna yang berada di depannya. Namun kaus Doni ditarik Diego. Anak cowok itu menggelengkan kepalanya, agar Doni mengerti jikalau mereka sedang merajuk pada Yumna.
Tapi, Doni mala mengerutkan dahi, kebingungan. "Kak Diego matanya kenapa?" katanya sambil menunjuk ke arah mata Diego yang melotot kesal.
Akhirnya Diego melepaskan bocah nakal itu dengan senyum terpaksa yang dibuat-buat. Yumna dengan senang hati menyambut pelukan Doni. Mengusak rambutnya sayang, dan kembali mengerling pada anak-anak lain.
"Ah, sayang sekali. Padahal kakak berencana menginap malam ini. Tapi karena kalian sedang marah, terpaksa. Tidak jadi"
Semua wajah berubah pias. Athila, salah satu anak yang lebih tua, menelan saliva susah payah. Bahkan anak cowok itu sudah mulai menarik-narik ujung baju Diego yang hampir sama saja keadaannya.