Annoying Healer

Harisa Maksalini
Chapter #9

#AH; 9

Yumna menatap murung pada angkutan yang tadi ditumpanginya. Bersama penumpang lain, Yumna duduk di trotoar jalan, menunggu sopir angkot memeriksa kondisi kendaraannya.

Hari sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Sudah mulai gelap dan Yumna gagal untuk tidak merasakan resah dalam benaknya. Beberapa penumpang yang turut menunggu sudah menyisir pergi, menggunakan kendaraan lain. Tapi angkutan yang menuju ke panti hanya tinggal satu ini saja. 

Ketika kernet angkot menghampiri Yumna untuk mengatakan bahwa angkot tersebut tidak akan bisa diperbaiki dalam waktu singkat, Yumna langsung merasa harinya tidak sebaik yang seharusnya. 

Cewek itu menghela napas pelan, mengulurkan uang ongkos yang ditolak halus oleh pak kernet. Namun Yumna tetap ingin uangnya diterima. Dengan alasan Yumna yang berkata ingin membantu uang perbaikan walau jumlah uangnya tidak seberapa, pak kernet menerima dengan senyuman. 

Yumna yakin dia sudah menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Tapi akibat jalanan yang sepi dan suasana sunyi yang mencekam -menurut Yumna. Usahanya meredam kekecewaan dan bertenang hati tidak berhasil dan berakhir sia-sia. 

Yumna mencengkram tali ranselnya kuat. Seperti gadis pada umumnya, gambaran kejadian yang tidak diharapkan melintas begitu saja di pikiran. Terngiang-ngiang, dan itu malah membuat langkahnya memberat. 

Kebingungan harus berbuat apa agar bisa cepat sampai, Yumna dikejutkan oleh bunyi klakson mobil dari arah belakang. Cewek itu berjenggit kaget di kakinya, sebelum melesat pergi begitu saja. Berlari secepat yang Ia mampu, sekaligus berusaha melupakan bahwa ia lemah pada bidang olahraga.

Yumna tidak tahan, Ia ingin berhenti. Napasnya terengah hebat, namun ketakutan mengendalikan kaki-kaki Yumna hingga ia terus berlari begitu saja, namun mobil hitam dari belakang menyerobot jalannya. Membelok tajam ke pinggir jalan, menghentikan langkah Yumna. 

Seseorang keluar dari mobil itu dengan terburu-buru. Wajahnya tertutupi topi yang juga berwarna hitam, sama dengan warna pakaiannya 

Yumna mundur. Walau rautnya masih datar namun pias di wajahnya benar-benar kentara. Yumna tidak suka situasi seperti ini. Maka dari itulah, Yumna menghindari keluar pada saat malam hari. 

Yumna sudah mengawasi sekelilingnya untuk menemukan setidaknya kayu berukuran sedang untuk dipukulkan kepada pengemudi misterius ini. Terlebih ketika orang itu berjalan pelan ke arahnya dengan meneliti penampilan Yumna dari ujung kaki hingga ujung kepala. 

Namun indera pendengarnya justru menangkap hal lain. 

"Yumna?"

Bersamaan dengan hangat di permukaan pergelangan tangannya, Yumna menoleh. 

Yumna diam saja. Tidak merespon dengan ucapan ataupun pergerakan selain terpaku di tempatnya berdiri. Walaupun sudah mengetahui siapa yang ada di hadapannya ini, Yumna tak lantas berlega hati begitu saja. 

"Beneran lo, kirain salah liat tadi. Gue klakson malah lari" ujarnya. 

Yumna masih berdiam diri sekaligus mengatur napas dan jantungnya yang berdetak hebat setelah usaha lari yang ternyata membentangi jarak tidak cukup jauh dari tempatnya semula. 

"Yumna?" panggil Morgan lagi. Kali ini dengan niat menyentuh bahu Yumna guna mengembalikan kesadaran cewek itu. Namun Yumna bergeser sebelum tangannya sampai. 

Morgan menurunkan tangannya dengan canggung. Merasa tidak pantas sekaligus salah melakukan itu pada seorang cewek yang baru saja dilanda ketakutan. 

"Mau kemana?. Gue anterin deh"

Yumna menatapi wajahnya. Raut tidak terbaca itu membuat Morgan kebingungan harus melakukan apa. 

"Ikut gue aja, ya. Gue anterin lo pulang" bujuk Morgan lagi. 

Morgan kira Ia tidak akan mendapat jawaban lagi, mengingat seberapa dingin sikap Yumna. Sudah akan berbalik dan pamit pergi, tetapi pergerakan naik turun halus kepala cewek itu membungkam Morgan tetap di tempatnya.

Setelah menghela Yumna untuk masuk terlebih dahulu, Morgan memutari mobil untuk duduk di belakang kemudi.

"Tolong antar saya" kata Yumna. 

Dengan senyumnya, Morgan mengangguk. "Kita jalan kemana?"

Yumna tidak menoleh. Suatu kebiasaan yang selalu didapati morgan ketika mengajaknya bicara. "Lurus saja," katanya. 

***

"Lo kenapa tadi jalan sendiri?" 

Hari sudah gelap, jalanan sudah mulai ramai kembali. Suasana sudah tidak semencekam tadi. Terlebih, lampu-lampu mobil yang melaju juga turut menerangi. 

"angkot yang saya naiki mogok" jawab Yumna. 

Morgan mengangguk pelan. Beberapa menit berselang sampai Yumna menyentuh bahunya. Membuat Morgan menoleh dengan kedua alis terangkat disertai pandangan bertanya.

"sudah sampai" Setelah Yumna mengatakan itu, Morgan refleks menginjak rem. 

Morgan masih mengamati sekitar ketika pintu mobil terbuka dan Yumna keluar begitu saja. 

"terima kasih, Morgan" ucapnya sebelum berbalik pergi. Padahal Morgan sudah memegang seat belt-nya untuk ikut turun dan mengantar cewek itu sampai rumah. 

Hanya bisa terpaku pada punggung Yumna yang menjauh, Morgan sadar sudah terlalu banyak berharap saat dia berkeinginan menjadikan cewek itu salah satu temannya. 

Sudah akan memasukkan persneling, ketika matanya justru menangkap tulisan di atas pintu salah satu deretan rumah yang di tuju oleh kaki Yumna. 

Lihat selengkapnya