Blurb
Sekilas pandang, tak ada yang unik dari tampilan fisik Gagas Mandala. Manakala ia berteduh ketika hujan turun, tentu hal tersebut akan tampak lumrah dilihat dari kacamata siapa pun. Tatkala ia duduk menyapukan secarik tisu guna menghapus bulir keringat, orang normal pun melakukan hal serupa. Namun, di balik itu semua, tak ada yang menyangka bahwa dirinya adalah seorang anomali.
Sejak kecil, Gagas sudah mengidap alergi akut terhadap air. Ragam reaksi penolakan terjadi pada tubuhnya manakala beradu fisik dengan substansi tersebut. Aquagenic urticaria. Begitu istilah medisnya. Seumur hidup, Gagas harus menjaga agar tubuhnya tetap kering guna menghindari reaksi alergi.
Menjadi pengidap salah satu alergi paling langka di dunia membuat kehidupan Gagas serba terbatas. Tak lagi ia bisa mencecap pendidikan formal sebagaimana kebanyakan anak normal. Setumpuk kewajiban belajarnya terpaksa digusur ke rumah bersama mentor-mentor yang sama sekali tak membantu Gagas menikmati hidup.
Suatu ketika, nasib mempertemukannya dengan Sarah Amalia. Seorang pelatih pertunjukan lumba-lumba keliling. Atas dasar kepentingan pribadi, Sarah dan Gagas saling mengenal dekat. Keterbukaan yang satu, menggiring keterbukaan pihak lain. Terus begitu hingga penyekat asing antar keduanya luruh digerus waktu berpadu rutinitas.
Diam-diam, Sarah mendaftarkan salah satu lukisan Gagas dalam sebuah kompetisi seni bertaraf internasional. Tanpa diduga, lukisan Gagas masuk tiga besar dan akan diikutsertakan ke dalam pameran bersama mahakarya seniman dunia. Namun, mengingat kondisi Gagas, jelas hal tersebut ditentang mentah-mentah oleh orangtuanya.
Berbekal tekad dibungkus nekat, Gagas menjemput kesempatan emas itu dengan membawa Sarah bersamanya.
Pameran demi pameran yang ia lakoni, negara demi negara yang ia singgahi, telah kian mempererat koneksi longgar antara dirinya dengan Sarah. Hingga keduanya tahu sama tahu bahwa hal lain turut hadir di sana.
Nahas, di tengah tur kemenangan itu, satu insiden memicu kumatnya reaksi alergi Gagas, membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit. Tak ada pilihan lain, Gagas pun terpaksa diterbangkan kembali ke Indonesia.
Hubungan ia dengan Sarah kian berjarak semenjak insiden itu. Hari demi hari dirundungi sepi. Kehidupan Gagas kembali seabnormal biasanya. Secercah sinar matahari yang biasanya terbit, kini raib entah ke mana.
Ketika dokternya memberitahu ada satu temuan alternatif yang mungkin bisa membebaskan Gagas dari derita, ia berminat menyimak. Namun, setelah tahu obat tersebut bekerja atas konsep trials and errors, ia mulai ragu. Seperti melempar sekeping koin dan menebak sisi mana yang akan menghadap ke atas. Di satu sisi ia akan sehat, di sisi lain ia akan wafat.
Guliran hari menggiring Gagas dan Sarah ke ambang pisah. Namun, Gagas selalu mendambakan satu hal: ia ingin berenang bersama lumba-lumba dan Sarah. Kendati awalnya hanya angan belaka, namun begitu perpisahan di depan mata, ia ingin hasrat itu menjadi nyata.
Mengumpulkan sisa harapan, ia menemui sang dokter, menyampaikan kesediannya mencoba obat alternatif itu. Kendati hatinya masih separuh ragu, namun ia tahu tak ada jalan kembali.