Hal pertama yang kulakukan setiap kali bangun tidur adalah memastikan tidak ada liur menempel di sarung bantal. Kemudian hal kedua setelahnya adalah memastikan aku tidak berkeringat. Rutinitas tersebut sudah jalan setidaknya selama empat belas tahun dua ratus tujuh puluh enam hari.
Sedari kecil, aku adalah tipe orang yang banyak bergerak dalam tidur, membuat potensi mengileri bantal atau seprai meningkat drastis. Tentu bagi kebanyakan orang hal itu bukanlah perkara genting yang perlu dicarikan solusi serius. Namun bagiku, hal tersebut bisa menjadi perkara hidup dan mati.
Sejak usiaku menginjak sepuluh tahun, tubuhku mulai menunjukkan hal-hal tak biasa setiap kali selesai mandi. Mulai dari bersin tak henti-henti, mata merah, muntah, ruam-ruam gatal sekujur badan, hingga yang terparah, aku nyaris mati karena sesak napas.
Awalnya semua orang mengira sistem tubuhku tak terlalu bersahabat dengan suhu dingin atau barangkali aku alergi sabun. Namun setelah menjalani serangkaian tes, maka tervonislah aku sebagai pengidap aquagenic urticaria.
Versi sepuluh tahunku sekejap menganggap istilah medis yang pelafalannya bisa bikin lidah keselo itu ada kaitannya dengan pahlawan super Aquaman. Aku sudah senang lantaran tahu bakal bisa berenang sepuasnya bersama puluhan ikan nila dalam tambak Kakek. Namun kemudian pelan-pelan orangtuaku menjelaskan apa maksud istilah medis aqua-aqua itu. Sederhananya, aku punya alergi akut terhadap air.
Sejenak hal tersebut tak terlalu kumasalahkan. Aku jadi bisa terhindar dari kewajiban mandi. Tak perlu ikut pelajaran olahraga hari Rabu yang kerap membuatku jadi bulan-bulanan siswa laki-laki lain lantaran kepayahan hampir dalam semua bidang olah fisik. Namun, seiring guliran waktu, penyakit itu mulai hinggap di setiap aktivitas harian seumpama rumpunan gulma.
Begitu lulus SD, orangtuaku memutuskan untuk berhenti memberiku pendidikan formal. Sebagai gantinya, mereka mengundang mentor-mentor terbaik guna menggenapi kewajibanku sebagai pelajar. Sejak saat itu, tak lagi aku bisa mengecap kehidupan seperti kebanyakan anak normal.
Orangtuaku tak pernah suka aku menangis. Bukan karena tak ingin anak laki-laki mereka jadi pribadi cengeng, hanya saja sebutir air mata dengan sebegitu mudahnya bisa menyusup masuk lewat pori-pori kulit, menciptakan ruam-ruam gatal yang terasa amat sakit tatkala digaruk.
Semakin sering kami konsultasi dengan dokter, semakin aku diringkus batas-batas tak wajar dalam menjalani hidup. Aku tak lagi diizinkan minum apa pun selain susu murni, menggunakan tisu mandi alih-alih air untuk membersihkan diri, mengganti sikat gigi dengan sebatang siwak, dan masih banyak hal lain tentang air yang mati-matian harus kuhindari. Sungguh ironis menjadi pengidap aquagenic urticaria di tengah-tengah planet dengan air mendominasi unsur penyusunnya.
Beranjak remaja, aku mulai menunjukkan tanda-tanda pemberontakan. Berkali-kali aku mencoba kabur hanya untuk kembali diringkus dan dijebloskan lagi ke dalam kamar tidur bak perampok kelas kakap.
“Aku alergi air, bukan udara!” bentakku begitu Papa memutar serenceng anak kunci di luar pintu kamar. Namun begitu pendengaranku menangkap isak tangis Mama tepat di luar daun pintu, seketika hasrat memberontakku surut. Ingin kubergabung dalam simfoni tangisan itu kalau saja bisa.
Sebagai ganti atas merampas kebebasanku menikmati dunia, Mama dan Papa menopang segala fasilitas indoor yang barangkali menjadi impian kebanyakan remaja lain. Koneksi internet berkecepatan stabil di 100 Mbps, satu set komputer komplet dengan spec dewa, ragam konsol peranti game yang kebanyakan masih tersegel dalam dus-dus di atas lemari, dan masih banyak fasilitas lain yang seharusnya bisa kunikmati dari rumah. Dan di antara semua itu, aku paling menyukai perkakas lukis yang setara dengan seniman profesional.