Minggu pertama di Bandung kuhabiskan dengan berkendara dari rumah sakit ke rumah sakit, mencari dokter baru yang Papa anggap cocok untuk menyambung kasusku. Tak banyak tenaga medis yang paham atas anomali diriku. Hingga pada satu Sabtu, kami bertemu dr. Ferdi, yang entah kebetulan atau tidak, ia melakukan penelitian perihal penyakit serupa selama pendidikan medisnya.
“Memang belum ada obatnya,” dr. Ferdi mengakui sebagaimana dokter-dokter lain. “Tapi saya sedang mencoba membongkari molekul-molekul obat alergi, dan mengombinasikannya dalam takaran pas supaya bisa menekan reaksi produktivitas histamine ketika tubuhmu terbilas air.”
Pada penghujung sesi, kembali aku disodori dosis obat-obatan yang serupa.
Kalau aku harus mengakui satu hal, itu adalah kebenaran orangtuaku tentang suhu Bandung. Biasanya, aku sudah merasa tak nyaman manakala berkendara terlalu lama. Kendati mobil kami sejuk, namun udara di luar seperti sengaja mengukusku hidup-hidup. Bandung berbeda. Lebih sejuk dan lebih bersahabat dengan kondisiku. Ini adalah pertama kalinya aku kembali ke sini sejak divonis penyakt itu.
“Pah,” aku memanggil.
“Hm?”
Seberkas cahaya matahari menyelinap masuk dari celah kaca mobil yang sengaja tak kututup rapat. “Aku belum pernah ke makam Kakek.”
Papa tak lantas menjawab. Ia terus berkendara digiring lantunan musik keroncong dari saluran radio. “Lain kali, ya? Kita pulang dulu sekarang.”
Senin berikutnya, dunia sudah melebur kembali dalam kenormalan versiku sendiri. Papa dan Mama kembali sibuk menggeluti bisnis. Asisten rumah tangga sibuk menjaga tempat ini tetap higienis. Sementara aku, aku kembali raib dalam imajinasi kuas berpadu cat air. Merasa sendirian. Lagi.
Beberapa hari berikutnya aku iseng mencari-cari lowongan pekerjaan. Namun tak satu pun menyangkut di minat perusahaan begitu tahu dokumen pendidikan formal yang kupunya hanyalah secarik ijazah SD. Ragam skill yang kucantumkan dalam daftar riwayat hidup seketika jadi tampak seperti omong kosong belaka.
Tak tahan lagi, pada suatu makan malam, kumuntahkan isi kepalaku di atas meja. “Aku butuh kegiatan lain selain melukis.”
Papa dan Mama bertukar tatap seperti mengundi siapa yang harus menjawab. Entah atas dasar apa, pihak Mama yang kalah. “Memangnya kamu mau kegiatan apa?”
“Aku mau cari kerjaan,” tandasku mantap. Umurku sudah dua puluh satu tahun. Tidak sekolah. Tidak juga bekerja. Kendati hidup berkecukupan, namun waktu luang yang terlampau senggang malah membuatku merasa serba kekurangan. “Tapi susah kalau cuma modal ijazah SD.”
Makan malam itu aku diceramahi habis-habisan tentang probabilitas demi probabilitas dunia kerja yang entah bagaimana akan bermuara pada air. Keringat, air hujan, air minum. Bahkan Mama mencetuksan hal-hal yang teramat spesifik seperti, “Gimana kalau kamu ketumpahah jus mangga waktu makan siang di kantin?”
Bersama dengan penuturan panjang-lebar itu, kusimpulkan aku tak akan mendapat dukungan dari mereka. Baik moril maupun materiil.
Dalam beberapa hari, topik makan malam itu kembali tenggelam dalam tumpukan aktivitas harian. Tak pernah lagi diungkit-ungkit barang sesentil saja. Kembali aku terdampar dalam kesenggangan waktu. Kurang gerak dan kurang kerjaan. Ditambah tubuhku yang kadang menunjukkan gejala ketidaknyamanan manakala lapisan lengket keringat membuka ruam-ruam gatal.
Pada suatu sore, sehabis menyekakan beberapa lembar tisu mandi ke sekujur badan serta menggosokkan batang siwak ke rongga mulut, aku meraih kunci mobil dan pamit pada Bi Diah, asisten rumah tangga kami, untuk jalan-jalan sore.
“Memangnya nggak apa-apa gitu sama Ibu-Bapak?” Bi Diah bertanya dalam nuansa logat Sunda-Garut yang kental.