Terkadang aku memikirkan semacam teori aneh perihal kondisiku saat ini. Katanya, tubuh manusia terdiri dari 60 persen air. Lantas bagaimana bisa aku alergi pada material yang sebetulnya sudah kukandung sejak lama? Pada suatu sesi, kusempatkan menanyakan hal tersebut ke dr. Ferdi.
“Alergi itu pada umumnya disebabkan oleh substansi asing yang biasa disebut alergen,” dr. Ferdi menjelaskan. “Yang dimaksud asing, berarti partikel itu nggak dikenali tubuh. Alias berasal dari luar. Jadi meskipun manusia mengandung banyak cairan, itu nggak akan bikin kamu alergi, kecuali airnya dari luar. Minum, misalnya.”
“Tapi keringat juga dari dalam tubuh, kan?” kembali aku bertanya.
Dr. Ferdi melipat kacamata perseginya, lantas menenggerkan benda itu di saku kemeja. “Aquagenic urticaria ini termasuk alergi kategori dermatitis. Artinya, alergi ini baru bereaksi manakala si alergen berkontak langsung dengan kulit. Ibaratnya, permukaan kulit kamu nggak mengenal keringat, sebab keringat adalah hasil sekresi dalam tubuh.”
Aku ingin menanyakan perihal air mata. Namun dugaanku jawabannya akan sama.
“Sebetulnya aquagenic urticaria mirip alergi biasa,” tutur dr. Ferdi. “Tapi, kasus kamu ini bisa dibilang sudah akut. Dugaan saya, gejalanya sudah tampak beberapa tahun sebelum kamu sadar. Dan karena telat penanganan, alergi ini kian parah.”
Aku mengangguk membenarkan. Memang itulah yang kurasakan. Waktu awal-awal vonis, alergi ini tak pernah sesensitif sekarang. Manakala kulitku basah, reaksi alergi baru muncul sepuluh menit kemudian. Lantas hilang setelah lima belas menit. Namun sekarang, rasanya reaksi tersebut muncul seinstan luka bakar. Kadang bahkan meninggalkan bekas.
“Kasus ini memang langka.” Dr. Ferdi bangkit berdiri dan duduk bertengger di tepi meja, menyaksikanku yang masih merebahkan diri di atas ranjang rumah sakit. “Belum banyak studi empiris yang membahasnya. Dan kamu,” katanya, menunjukku dengan ujung pulpen, “bakal jadi subjek riset saya yang sempurna.”
“Kok bisa?” Aku bangkit dan duduk bersila menghadapnya. Dr. Ferdi ini bisa jadi hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Kami bisa jadi kawan main di kehidupan lain.
“Seperti yang saya bilang, saya ini sedang merancang formula untuk menekan reaksi alergi,” katanya. Kemudian buru-buru menambahkan seakan takut aku tersinggung, “Tapi uji cobanya masih pada hewan pengerat, bukan pada manusia.”
“Jadi masih ada harapan?”
Ia melompat dari meja, lantas berjalan ke arahku. Diacungkannya batang pulpen seumpama menyokong tiang bendera. “Harapan itu kita yang ciptakan.”
Ada satu pertanyaan lagi yang gatal ingin kutanyakan. Orang akademisi seperti dr. Ferdi pasti cocok kalau kutanyai hal ini.
“Dok?”
“Hm?”
“Bisa bikin ijazah palsu?”
Aku langsung disidang Papa dan Mama begitu dr. Ferdi menceritakan pada mereka pertanyaanku tadi.
“Kamu itu ngapain tanya-tanya ijazah palsu?” Papa menyeru. Kami bertiga duduk melingkari meja bulat di ruang tamu. “Mau pindah rumah ke penjara?”