Papa adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Semuanya laki-laki. Jadi, kalau ada acara-acara kumpul keluarga, kediaman kami pasti jadi pusat orbitnya. Apalagi banyak kerabat yang tinggal di Bandung. Acara kumpul-kumpul jadi semakin gampang.
Pada hari Lebaran tahun berjalan, rumah baru kami di Bandung menjadi jauh lebih ramai dari biasanya. Aku tinggal di perumahaan yang cukup elit di mana setiap bilah daun pintu dan jendela-jendela rumah kerap tersegel rapat. Entah betulan kosong atau penghuninya malas saling bertegur sapa.
Kebanyakan warga di sini adalah pendatang. Jadi setiap menjelang hari raya seperti Lebaran atau Natal, mereka akan berbondong-bondong pulang kampung, meninggalkan Pak Husein, satpam kompleks, dalam lingkungan sepi. Dan karena rumahku biasanya yang selalu ramai pada hari raya, beliau kerap mampir untuk sekadar silaturahmi dan makan semangkuk opor ayam.
Sepupu-sepupuku banyak, tapi tak semua tahu tentang penyakit anehku. Baguslah, jadi tak akan ada yang mengira lagi kalau aku ini jorok dan jarang mandi.
Namun, di antara sepupu-sepupuku yang berjibun itu, ada satu yang bisa dikatakan mirip denganku. Sama-sama menderita kelainan seumur hidup. Namanya Bagas—sering tertukar denganku yang bernama Gagas—pengidap autisme sejak lahir. Sekarang usianya sudah tujuh tahun dan belum sekolah.
Bagas bukan yang termuda. Tapi biasanya kerabat lain sering menganggap dia tidak ada. Tidak mau repot-repot memperhatikan atau mengajak bicara. Namun, karena merasa senasib, aku sering mengajak anak itu bicara kendati tak pernah nyambung.
“Punya berapa Gundam di rumah?” tanyaku, mengacu pada mainan robot yang tak pernah lupa ia bawa ke mana-mana.
“Banyak!” Bagas berseru tanpa berkontak pandang denganku. Kali ini ia membawa figur aksi robot yang apabila ditekuk-tekuk niscaya akan berubah bentuk jadi pesawat tempur.
“Minta satu, dong!” sahutku.
Percakapan kami tamat sampai di situ.
Ketika sepupuku yang lain sedang tanding kehebatan bermain Winning Eleven di kamarku, sayup-sayup dari balik daun pintu aku menguping pembicaraan orang dewasa.
“... coba daftar sekolah.” Kukenali suara barusan sebagai suara Tante Rena, ibu Bagas.
“Nggak coba didaftarkan ke sekolah khusus gitu?” Itu suara ibuku.
“Ayahnya nggak mau. Malu katanya.”
Sisa percakapan lain tak bisa kudengar dengan jelas lantaran keenam sepupuku itu sudah berteriak-teriak girang macam babon. Tapi bisa kutarik kesimpulan kalau Bagas sempat sekolah dan mendapat perlakuan yang kurang lebih sama sepertiku dulu. Satu lagi kesamaan nasib kami berdua.
Begitu semua bubar setelah hari kedua Lebaran, rumah kami kembali sepi. Namun percakapan tentang Bagas sering timbul baik di hadapan maupun di belakang punggungku.
“Kasihan Rena. Sudah lama berharap punya anak, tapi malah...” Di suatu makan malam ibuku bicara.
“Yang kayak gitu memang susah sembuhnya,” Papa mengomentari. “Harus nemu terapi yang cocok, terus dijalankan secara rutin.”
“Cobalah kamu bicara sama Primo,” kata Mama. “Suruh dia sekolahkan si Bagas di sekolah khusus. Nggak perlu malu, yang penting dia sekolah.”
Entah mereka sadar atau tidak, aku pun dijebloskan pada sekolah khusus dalam konteks kelainan yang berbeda.