ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #5

Episode 5 - Terapi Lumba-Lumba

Kunjungan akhir pekan Bagas ke kediamanku digeser oleh kunjungan rutin ke pertunjukan lumba-lumba. Seakan tak pernah bosan dengan atraksi yang itu-itu saja, Bagas masih bersikeras untuk duduk di bangku paling depan. Namun kali ini, aku datang terbalut busana normal, tidak terlalu khawatir akan kecipratan air.

Yang membuatku agak jengkel, Bagas tak pernah puas dengan satu pertunjukan. Ia merengek padaku untuk memborong tiket masuk di setiap sesi. Dalam jeda antara sesi-sesi tersebut, Bagas turut membantu memberi makan lumba-lumba. Kami sudah seperti pegawai sukarela dalam sirkus air itu.

Suatu sore, sehabis pertunjukan terakhir dan Bagas tengah membantu salah satu pelatih memberi makan paus beluga, Sarah menghampiri dan duduk di sebelahku. Aku perlu bergeser sedikit sebab ia masih terbalut pakaian selam yang semi-kuyup.

“Kamu nggak seantusias Bagas kalau nonton,” sahutnya.

Kulepas sesungging senyum canggung. Kendati manusia diciptakan sebagai pelaku sosial, namun entah bagaimana aku kurang berbakat soal itu. Efek isolasi bertahun-tahun, mungkin.

“Bagas memang suka ikan,” aku menjawab. Dari sudut pandanganku, kemilau matahari sore menciptakan guratan cahaya di sepanjang tepian rambut Sarah yang berombak, membingkai wajah.

Ia tertawa geli. “Lumba-lumba bukan ikan.”

“Tampilan fisik luar, dia ikan.”

Tawa renyah menular di antara kami berdua, entah siapa yang mulai duluan. Namun rasanya, aku seperti terbebas dari sesuatu. Lalu sekonyong-konyong, Sarah melempar pertanyaan separuh ragu, “Maaf sebelumnya, tapi Bagas itu berkebutuhan khusus, ya?”

Sejenak kubiarkan pertanyaan itu mengambang dalam udara sore yang bercampur semilir aroma amis dari seember bangkai hewan laut. “Iya. Makanya aku sering bawa dia ke sini. Biar ada hiburan.”

“Sudah pernah diterapi ke mana saja?” Sarah kembali bertanya. Tetesan air dari ujung rambutnya mulai berkubang di tempat kami duduk, mulai menjalar sedikit demi sedikit ke arahku. Aku bergeser lagi.

“Nggak tahu. Tapi sekarang Bagas sudah disekolahkan di sekolah khusus. Aku antar-jemput tiap hari.”

“Kalau mau,” sahut Sarah, ia menggeser duduknya ke dekatku, “aku bisa coba bicara sama yang punya acara biar Bagas bisa terapi lumba-lumba.”

“Terapi lumba-lumba?” Kontan aku lupa memperlebar jarak. Aliran air dari genangan itu mengecup tepian celana jinsku, membuatku tersentak.

“Kamu kenapa geser-geser terus?” tanya Sarah begitu menyadari keganjilan yang terjadi.

“Nggak apa-apa,” buru-buru aku menjawab, tapi masih geser-geser. “Terapi lumba-lumba kayak gimana?”

Selama setengah jam sebelum waktu tutup, Sarah menjelaskan padaku secara garis besar tentang terapi lumba-lumba yang ia maksud. Katanya, gelombang sonar yang dihasilkan lumba-lumba dinilai mampu mereaksikan otak manusia untuk memproduksi semacam energy yang nantinya dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Bagas hanya perlu berenang bersama lumba-lumba dan membiarkan mereka bekerja.

“Bagas nggak bisa berenang,” sahutku di ujung penuturan.

“Bisa dibimbing dan dikasih pelampung,” jawab Sarah. “Tapi aku harus bicara dulu sama yang punya. Dan biasanya biayanya nggak murah.”

Aku mengangguk. “Aku juga harus bilang dulu sama keluarga.”

Sepulang dari pertunjukan petang itu, aku merasakan setumpuk beban turut terbawa seperti oleh-oleh. Seusai membersihkan diri dengan tisu mandi, pelan-pelan kucoba membuka gagasan tersebut di meja makan.

Lihat selengkapnya