Pesona Jalan Braga di malam hari mampu memikat siapa pun yang kebetulan lewat. Kendati hanya pernah lihat di internet dan lembaran kartu pos, namun rasanya bisa kusandingkan gambaran Braga malam hari dengan nuansa sama di kota nan jauh di atas daratan Eropa sana. Hanya tinggal menyingkirkan mobil dan motor, diganti delman, maka aku sudah bisa kembali ke era kolonial.
Selepas memarkirkan mobilku di garasi belakang ruko Mas Wira, aku meniti jalan ke tempat biasa ia melapak. Tampak Mas Wira tengah mengangkuti lukisan-lukisannya ke dalam begitu aku sampai.
“Tumben sampeyan kemari malam-malam,” sambut Mas Wira.
Kubalas sapaan itu dengan membantunya mengangkuti bingkai-bingkai lukisan ke lantai bawah ruko yang merangkap sebagai galeri, katanya.
“Aku tidur di sini boleh?” tanyaku.
“Ya janganlah, ini kan galeri.”
“Maksudnya menginap di sini,” kuperjelas maksud tujuanku datang kemari.
Tentu saja, karena Mas Wira adalah tipe manusia yang gemar melontarkan pertanyaan “kenapa”, aku pun harus rela kembali merangkai kronologis hanya supaya diizinkan menginap di tempatnya.
Menginap di tempat orang lain tak pernah menjadi perkara mudah bagiku. Mengingat aku adalah tipe orang yang mudah berkeringat di kala tidur, maka penyesuaian suhu ruangan juga perlu diperhatikan serinci mungkin.
Mas Wira tidak punya AC, hanya ada kipas angin duduk yang sudah tak bisa lagi tengok kanan-kiri. Merasa tak akan cukup, akhirnya kuputuskan untuk membuka daun jendela, membuat Mas Wira harus mengambil selimut ekstra dari keranjang cucian.
Tak seperti di rumahku yang siang-malam tetap hening, lantai atas ruko Mas Wira tak ubahnya seperti tidur dalam mobil. Kendaraan demi kendaraan melintas kendati waktu sudah menjelang pagi. Terjagalah aku seraya meratapi plafon rendah di atas sana dengan pikiran ke mana-mana. Menjelang subuh, barulah aku bisa tidur.
Esok paginya, aku sarapan dua potong serabi dan segelas susu hangat yang sudah tersedia begitu aku bangun.
“Memang jadi marketing itu ndak gampang,” sahut Mas Wira seraya menyantap bubur ayamnya. “Walau gratis, tapi kebanyakan orang biasanya ndak mau menerima lembaran brosur.”
Entah kenapa, pernyataan tadi terdengar lebih masuk akal tatkala diucapkan oleh Mas Wira ketimbang ayahku. Namun tetap saja, tekadku ini belum sepenuhnya goyah. Kalau dipikir-pikir lagi, ini bukan seluruhnya tentang Bagas. Ini tentang aku yang tak mau terus-terusan ditentang.
“Tapi aku mau coba,” semburku.
“Ya, kalau sampeyan mau coba ndak apa-apa, hitung-hitung pengalaman,” jawab Mas Wira. “Tapi yakin kuat? Ndak bakal kambuh?”
“Nggak,” kataku mantap. Namun jeda yang menyelang antara jawaban dan pertanyaan barusan, membuat jawabanku terdengar tak meyakinkan.
“Dekat-dekat sini saja,” usul Mas Wira. “Jalan Braga ini salah satu yang paling ramai di Bandung.”