Genap satu minggu kulakoni pekerjaan bagi-bagi brosur ini. Segepok sudah habis, selalu ada segepok lain yang masih hangat baru keluar dari mesin fotokopi. Di sela-sela pembagian brosur, diam-diam kupotret gelanggang pada saat pertunjukan. Lalu kubawa lembaran foto itu ke galeri lukis untuk disalin ke atas kanvas.
Pelajaran lukisku—atau lebih tepatnya sharing ilmu lukis—dengan Mas Wira tetap berlanjut. Pada suatu kesempatan, Mas Wira mengumandangkan isi hatinya bahwa ia ingin pergi ke Museum Louvre, Paris, tempat mahakarya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, bersemayam sakral. Rencana itu sudah ia susun sejak masih kuliah di Seni Rupa ITB. Namun karena ia drop out di tengah-tengah dan memilih buka galeri jalanan seperti ini, impian itu kandas seketika. Dan semenjak itu, hubungan Mas Wira dengan sanak keluarga di Surakarta pun kian berjarak dilumat bentangan jurang.
“Lukisan sampeyan lumayan, buat orang yang autodidak,” komentar Mas Wira ketika aku berhasil menyelesaikan satu lukisan.
“Nggak autodidak juga, sih,” sahutku. “Pernah punya guru dulu. Sekarang juga punya.”
Mendengar jawabanku, lelaki itu tergelak. “Aku ndak bisa jadi guru. Wong kuliah saja nggak tamat.”
Namun pada kenyataannya, ialah yang lebih banyak menyumbang ilmu dalam acara sharing ini. Sementara aku biasanya jadi pihak yang memfasilitasi. Masih bisa kuingat wajah terkejut Mas Wira yang terbingkai rambut gondrongnya tatkala aku datang membawa dua paket Liquitex Basics Acrylic edisi Acrylic Starter Box. Ia semakin menganga ketika kusorongkan satu kotak padanya.
“Gendeng! Ini buatku?”
“Kenapa memang?”
Barulah aku diberitahu olehnya bahwa barang yang kubawa ini satu kotaknya berharga lebih dari setengah juta rupiah. Ia yang biasa melukis dengan media cat air dan cat minyak oplosan jelas dibuat terkejut. Aku sendiri tidak tahu apa-apa karena nyaris seluruh barang yang kumiliki tak pernah benar-benar kubeli sendiri.
Kendati terbukti mampu menjalaninya, namun Papa masih belum menerima aku punya pekerjaan. Tak perlulah orang rumah tahu apa yang kujalani di luar sana. Yang penting aku tetap bisa jaga kesehatan kendati harus kutenggak sebutir-dua butir antihistamine di tempat Mas Wira. Namun yang kuwaspadai adalah kerahasiaan yang kami jaga tepat di bawah cuping hidung Om Primo. Kalau ia sampai tahu Bagas bisa terapi lantaran aku kerja tak bergaji, ia bisa murka habis-habisan.
Suatu Rabu sore, setelah pertunjukan terakhir selesai, kuantar Bagas ke terapi pertamanya. Kendati tak bisa berenang, namun ia senang bukan main begitu tahu akan kuajak mencemplungkan diri ke kolam bersama lumba-lumba. Di kediaman Om Primo, aku harus mati-matian meyakinkannya bahwa terapi ini seluruhnya gratis dalam rangka promosi. Bulan depan baru dibuka resmi. Dan berkat dibantu juga oleh Tante Rena, akhirnya kebohonganku berjalan mulus seperti jalan tol.
Dari bangku bertingkat baris ketiga, aku duduk seraya menontoni Bagas kegirangan dikecupi sepasang lumba-lumba. Vega dan Billy. Karena tak boleh pakai pelampung supaya tak ada penghalang antara moncong lumba-lumba dan tubuh, Bagas pun harus digendong Sarah. Kuangkat kamera dan terbidiklah momen tersebut.
Selepas terapi usai, Bagas kembali diajak memberi makan kedua lumba-lumba itu bersama seorang pelatih. Sarah—yang sepertinya baru selesai mandi—duduk bersamaku sambil membawa dua gelas belimbing berisi bandrek. Satunya ia sodorkan padaku.
Kutatap cairan keruh itu sesaat sebelum menggelengkan kepala. “Makasih.”
“Itu susu dibikinkan Mama?” Sarah mengangguk pada botol minum di kakiku. Ada kegelian terpancar dari matanya.
“Iya,” jawabku biar cepat.