Pertengahan Juli, Bagas genap berumur delapan tahun. Namun kendati demikian, ia bahkan tak tahu tanggal ulang tahunnya sendiri. Hal tersebut bisa menjadi keuntungan bagi siapa pun yang berencana untuk menggelar pesta kejutan.
Tahun ini, pesta penyambutan penambahan usia itu digelar seadanya, dikelilingi keluarga dekat supaya tak banyak keluar biaya. Namun diam-diam, ibuku menyuntikkan sedikit dana tambahan lewat Tante Rena supaya anak-anak tetangga juga bisa turut diundang. Sekalian menyewa badut sulap supaya makin meriah.
Di gelanggang, kusodorkan secarik kartu undangan berbentuk lumba-lumba pada Sarah yang disambut kening berkerut. “Apa ini?”
“Pesta ulang tahun Bagas,” jawabku. “Dia sendiri yang mengundang.”
Sarah tergelak, entah menertawakan apa. Barangkali karena huruf “r” dalam namanya salah hadap. Atau karena gambar lumba-lumba di sudut undangan yang lebih mirip platipus ganjil.
“Kamu juga diundang?”
Kuacungkan kartu undangan sebagai jawaban. “Acaranya Sabtu ini. Bisa datang?”
Segurat ragu terbesit di wajah Sarah. “Nanti kutanyakan dulu sama Pak Bambang, ya.” Setelah jeda singkat, Sarah bertanya, “Dulu kamu kuliah jurusan apa?”
“Aku nggak kuliah.” Kutatap lurus-lurus Billy dan Vega yang tengah dilatih menggunakan cincin hula hoop. Atau kawanan anjing laut yang tengah mengunyah seember bauran ikan. Ke mana saja asal tidak ke arah Sarah. Topik ini kembali dimulai.
“Kalau SMA?” ia kembali bertanya.
Aku kehabisan sudut untuk kutatap. Jadi kutuding genangan air kolam yang tersorot langsung sinar matahari sore. “Itu air laut asli?”
Hanya orang bodoh yang tak langsung menangkap maksud tersiratku menggulirkan topik ke arah lain. Namun kendati demikian, Sarah tetap mempertemukan pertanyaan tadi dengan sepotong jawaban.
“Bukan. Kami mencampurkan air ledeng dengan garam. Lalu dituangkan klorin berkadar wajar.” Dari ekor mata, aku bisa melihat Sarah kembali menoleh. “Kamu homeschooling, ya?”
Ingin rasanya aku membantah. Namun diamku berarti banyak. Salah satunya mengonfirmasi tuduhan Sarah yang entah berlandaskan pada apa. Diam berarti emas. Bukan. Diam berarti iya. Kumantapkan jawaban abstrak itu dengan satu anggukan berat.
“Kenapa?”
Kadang, ingin rasanya kurombak formula 5W+1H dengan menendang keluar si why supaya orang-orang tak lagi menggunakannya dengan seenak jidat. “Kenapa” adalah jenis kata tanya keji sebab ia berkompetensi untuk menelanjangi manusia.
“Kamu kena perundungan?” Akhirnya Sarah memberiku keringanan untuk menjawab. Lagi, kuanggukan kepala. Jawaban itu separuh benar. Sepertiga, deh.
Sarah tak menyelami pertanyaan itu lebih dalam. Entah tak mau menyinggungku dengan hal-hal yang sepatutnya sudah terkubur di masa lalu, atau karena sudah jelas bahwa orang sepertiku memang rentan kena perundungan. Kuduga hal kedua itu ada hubungannya dengan botol susu yang gemar kubawa ke mana-mana.
Hari berikutnya Sarah memberitahu kalau ia bisa izin kerja Sabtu ini. Ia menyuruhku untuk izin juga. Namun karena statusku di sini sebagai pekerja lepas, rasanya hal itu tak terlalu diperlukan.
Jumat sore, setelah pertunjukan terakhir usai, Sarah mengajakku cari kado. Ia bersikeras dirinya yang mengemudi. Menggunakan mobil pick-up berkarat yang biasa dipakai untuk mengangkuti barang, kami membelah belantara carut-marut Kota Bandung menuju salah satu toserba di kawasan Jalan Pahlawan. Kendati mengaku tak memiliki SIM A, namun Sarah amat lihai menyalip sana-sini seperti pembalap ulung.