ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #9

Episode 9 - Ulang Tahun

Kediaman Sarah tak terlalu jauh dari tempat pertunjukan. Mengikuti arahan lewat sambungan telepon, aku memutar roda kemudi memasuki jalan kecil yang hanya muat untuk satu mobil. Pandanganku awas mencari-cari warung nasi Padang yang menjadi patokan belok kiri. Begitu kutemukan, jalanan tempatku melaju kian mengerucut dan tak rata. Sarah sudah memperingatkanku kalau kontrakan tempat ia tinggal harus masuk gang kecil. Jadi, kutepikan mobilku ke sebuah tempat laundry sesuai pesanan Sarah.

“Sudah di depan,” kataku pada ponsel yang tergeletak di atas dasbor. Dari sana, Sarah memutus sambungan telepon.

Kumatikan mesin mobil dan kuturunkan kaca jendela agar tak berkeringat. Terik garang matahari di atas sana seakan tak menyetujui iktikad baikku untuk datang ke ulang tahun Bagas. Kutarik secarik tisu dari saku celana, lantas menepuk-nepukannya ke sekujur muka.

Dari gang kecil di samping tukang fotokopian, kulihat Sarah melangkah keluar. Celingukan mencari-cari keberadaanku. Barang sesaat, kubiarkan ia seperti itu sebelum kukibarkan tisu ke luar jendela.

“Resek! Kenapa nggak tunggu di luar mobil?” Satu tangan Sarah terulur dalam formasi capit, memuntir kulit bahuku kencang. Terlepas bercanda atau bukan, rasa sakitnya tidak untuk ditertawakan.

“Kamu sendiri nggak tanya mobilku apa,” kujawab setengah tertawa sembari mengelus titik cubitnya mendarat. “Jalan sekarang?”

“Kadonya?”

“Tuh.” Kutolehkan kepalaku ke belakang tempat seonggok kantong keresek putih duduk manis seperti seorang majikan.

Separuh jalan kemudian, aku tak bisa menahan diri untuk terus mengunci komentarku. Sepotong deham pendek menjadi salam pembuka. “Kamu kelihatan beda kalau rambutmu digerai begitu.”

“Beda gimana?”

“Ya... beda.”

Hari ini penampilan Sarah tak seperti yang biasa kulihat di gelanggang. Tak ada lagi pakaian selam dan rambut kepang basah. Tak ada lagi bau amis ikan bercampur keringat. Hari ini ia mengenakan tunik putih polos lengan panjang dipadu celana katun hitam. Rambutnya yang berombak mengalir dari ubun-ubun, dan tumpah di kedua sisi bahu seperti air terjun gelap. Selapis riasan wajah natural mencorengi bagian-bagian muka. Untuk pertama kalinya, aku melihat ia seperti perempuan betulan.

“Kamu nggak punya kaus yang tebalan sedikit?” Tangan Sarah terulur, mencomot keliman kausku.

“Aku lebih suka pakai yang tipis-tipis. Lebih adem.” Kucoba menekankan bagian terakhir, berharap Sarah jadi terpikir kaus seragam pertunjukan yang lebih cocok dijadikan kaus partai itu.

“Ini acara ulang tahun, Gas.” Sarah menyentakkan kembali keliman kausku. “Masa oblongan begitu?”

“Yang penting kita datang. Bawa kado.”

Kediaman keluarga Om Primo berlokasi di sebuah cluster minimalis dengan deretan rumah putih seragam dan sama-sama berlantai tunggal. Perusahaan properti tempatnya bekerja membangun sekitar lima puluh unit rumah di sana. Sepuluh di antaranya dialokasikan sebagai rumah dinas. Namun, Bagas pernah memberitahuku kalau sebagian besar tetangganya sudah hengkang. Entah mereka itu para pekerja yang kena PHK, atau para penghuni yang merasa tak lagi mendapat fasilitas yang dijanjikan.

Kami memutari bundaran kecil yang juga difungsikan sebagai taman baca, kemudian berbelok ke barat, melewati beberapa rumah lagi sebelum tiba di kediaman Bagas. Dekorasi balon dan kertas-kertas hias menjadikan bangunan itu mencolok hanya untuk hari ini. Sayup-sayup suara keramaian dihantarkan udara dari dalam sana.

Di hadapan bilah-bilah kayu yang memagari pekarangan, langkah Sarah tertunda, membuatku melakukan hal serupa. “Kenapa?”

“Malu.”

Aku tersedak tawa. Sarah Amalia, seseorang yang bisa begitu hiperaktif manakala beratraksi dengan lumba-lumba, rupanya punya urat malu yang bakal teraktivasi tatkala menghadapi acara semacam ini?

“Malu sama siapa? Badut?” godaku.

Lihat selengkapnya