Mas Wira tengah membantu seorang tukang mengangkut tiga bingkai lukisan ke belakang mobil pick-up hitam yang terparkir di depan lapak saat aku datang. Sekilas pandangannya menangkapku sebelum kembali berbincang dengan si pembeli. Begitu mobil itu pergi, barulah ia menyambut heran kedatanganku yang tak sendiri.
“Ada yang borong, nih!” sahutku, membuka percakapan.
“Lumayanlah.” Tangan Mas Wira terulur, menyodorkan dua lembar seratus ribuan padaku. “Tadi yang satu lukisan sampeyan. Nih, duitnya.”
Kukantongi uang itu cepat-cepat sebelum menjadi jembatan perkenalan. “Mas, kenalin. Ini Sarah, temanku dari gelanggang. Sarah, ini Mas Wira.”
Kedua tangan berjabat mantap sebelum saling bertukar senyum.
“Eh, mau minum apa?” tanya Mas Wira, buru-buru kembali ke dalam galeri.
“Nggak usah, Mas,” Sarah menjawab saat kami menguntit ikut masuk juga. Namun suara itu tak terdengar terlalu meyakinkan. Pandangan Sarah seperti sudah terhipnotis tatkala memandangi bingkai demi bingkai yang disusun acak memenuhi lantai satu ruko Mas Wira.
“Selamat datang di galeri kami,” aku menyambut bak seorang pegawai museum.
“Ini semua kamu yang bikin?” tanya Sarah, menoleh padaku tak percaya.
“Nggaklah, ada bikinan Mas Wira juga.” Kupisahkan dua kursi bakso yang menumpuk, dan memberikannya satu pada Sarah. “Sebagian besar punya Mas Wira. Punyaku cuma pelengkap saja.”
“Punyamu yang mana saja?”
Kutunjuk beberapa lukisan sebagai jawaban.
Dengan masih tercengang, Sarah berkata, “Dulu waktu kamu bilang senang melukis, aku kira lukisannya di buku gambar. Pakai cat air.”
“Awalnya juga memang dari situ.”
Mas Wira kembali dengan tiga kaleng soda di tangannya. Satu—yang tak dingin—diserahkan padaku.
“Jadi ini pelatih lumba-lumba itu?” Mas Wira bertanya pada Sarah.
“Iya, Mas. Gagas sudah cerita?”
“Oh, bukan sudah lagi! Cerewet sekali dia kalau sudah bahas soal Sarah Amalia.”
Kutendang kaki kursi plastik Mas Wira yang tetap ajek lantaran digencet bobot tubuhnya. Buru-buru kugulirkan topik ke arah lain, “Mas Wira ini mentor yang waktu itu aku ceritakan.”
Selama satu jam kemudian guliran cerita demi cerita tertukar dalam setiap teguk kaleng soda. Berkali-kali aku kembali menendangi kaki kursi Mas Wira yang tetap tak bergeming. Namun di luar itu semua, rahasia kecil kami seputar air tetap tersegel rapat.
“Satu lukisan biasanya dijual berapa?” Sarah bertanya.
“Tergantung ukurannya. Yang segede gitu.” Mas Wira menunjuk lukisan keledai dalam kanvas ukuran 40 x 60 cm, “kisaran seratus sampai seratus lima puluh. Kalau kayak gitu.” Ia menunjuk kanvas yang lebih besar, “bisa sampai dua setengah.”