ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #12

Episode 12 - Menjadi Minyak

Aku sudah mengunci pintu mobil begitu Sarah tiba menggedor-gedor kaca dengan panik. Sama paniknya, aku mulai melucuti kaus oblongku yang basah, meraup segenggam tisu dari dasbor mobil dan menyeka tubuhku dengan barbar. Kuulangi kegiatan itu sampai kotak tisu kosong dan langsung melesat keluar dari pelataran parkir.

Titik-titik gatal dan terbakar mulai menyeruak dari kulit badanku. Buliran keringat merembes keluar, memperburuk keadaan. Tanganku gemetar di roda kemudi. Dan aku tidak tahu harus bergerak ke mana.

Setelah melewati sebuah pertigaan yang rindang dinaungi pepohonan, kutepikan mobil dan meraih ponsel dari saku celana. Dengan jemari gemetar, kuhubungi nomor pertama yang terlintas di benakku.

Dr. Ferdi menjawab segera setelah dering kedua. Sebelum ia sempat mengucapkan “halo” kusemburkan dua penggal kata yang sudah gatal menunggu di ujung lidah. “Alergiku kambuh.”

Tak ada pertanyaan spesifik yang berbuntut penjelasan panjang. Dr. Ferdi hanya menanyakan lokasiku dan mengakhiri panggilan telepon. Tak sampai lima belas menit, satu unit mobil ambulans sudah tiba, mengundang perhatian para pengguna jalan raya.

Dahiku beradu dengan setir mobil, merasakan setiap sengal napas yang mulai terasa menyiksa. Aku betul-betul merasa seperti dilemparkan ke tungku api, kemudian diangkat dan dibiarkan tergolek di atas tanah, merasakan dekomposer mulai mengurai eksistensiku.

Sirene ambulans terdengar amat berjarak. Seperti berasal dari ujung dunia. Namun tahu-tahu kurasakan tubuhku bergerak. Bukan atas kehendakku, tapi kehendak orang lain. Aku diangkat. Kurasakan lengan-lengan di bawah tubuhku, kubiarkan sinar matahari hangat menerpa wajah.

Sejurus kemudian, aku sudah melaju dalam mobil ambulans.

Tak banyak yang kuingat selama perjalanan. Namun tahu-tahu aku sudah berbaring di ruangan dr. Ferdi, tempat biasa aku konsultasi. Masker oksigen membekap hidung dan mulut, tersambung pada tabung oksigen di samping tempat tidur.

Tubuhku lemas seperti habis ikut lomba maraton Agustusan waktu kecil dulu. Selain itu, kulitku terasa amat kaku seperti dilumuri krim peluntur daki. Ada rasa getir di pangkal lidah yang tak kunjung enyah kendati sudah kutelan ludah beberapa kali.

“Dok.” Suaraku terdistorsi dari balik masker oksigen.

Dari balik meja kerjanya, dr. Ferdi mengangkat kepala. Seulas senyum menyembul dari wajahnya yang tersapu perasaan lega. “Akhirnya sadar juga.”

Aku berusaha bangun, namun tenagaku seperti baru saja dikuras habis. Belum lagi krim apa pun yang dioleskan ke tubuhku punya andil untuk membuat kaku pergerakan.

Dari ujung sana, dr. Ferdi bangkit dan berjalan mengitari meja. Begitu tiba di samping ranjang, punggung tangannya mendarat tepat di dahiku, menyerap setiap titik suhu tubuh yang terhimpun di sana. Agar lebih yakin, ia mengambil sebatang termometer dari saku mantel, kemudian menyelipkan ujungnya di antara kedua bibirku.

“Demamnya sudah turun,” dr. Ferdi mengabarkan. Dari saku mantel yang satunya, ia menarik keluar segulung stetoskop. Sigap, ditekankannya diafragma benda itu ke seputar dadaku. Titik beku menyeruak dari sana, membuat tubuhku yang masih berlumur krim terasa makin tak nyaman.

“Aku kenapa?” Suaraku masih terdistorsi.

Lihat selengkapnya