ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #13

Episode 13 - Perkara Maaf-Memaafkan

Riset yang kulakoni membawaku menyelami lebih dalam salah satu aliran seni yang dulu hanya kupelajari sebutuhnya saja karena merasa bidangku bukan di sana. Namun semakin deras arus pengetahuan yang masuk, semakin matang juga minatku untuk mencoba. Ragam referensi yang kuperkaya turut membantuku memutuskan. Terlepas dari lomba lukis Aries Art, perlahan aku mulai mencintai aliran seni ekspresionisme.

Mas Wira tak tahu banyak seputar aliran seni rupa. Waktu kutanya, ia hanya menjawab, “Sing penting imajinasi sampeyan jalan. Ndak usah pusing mikirin aliran-aliran segala macam.”

Semakin ditekan, semakin lihai pula Mas Wira kembali mengungkit perkara drop out-nya. Akhirnya, aku tak punya pilihan lain selain menghubungi guru lamaku.

Korespondensi aku dengan Pak Idad hanya berlangsung lewat surel. Ia menjelaskan padaku kalau aliran ekspresionisme adalah aliran yang serius. Tidak semua seniman mampu melompat ke dalam aliran tersebut. Apalagi untuk seniman yang sudah biasa meniru objek lukis sepertiku.

Ekspresionisme memerlukan sapuan kuas yang berani dan tidak malu-malu, kata Pak Idad dalam salah satu surelnya. Imajinasi dan ketangkasan bukan poin utama. Jiwalah yang menjadi primadona dalam aliran ini.

Kemudian bersama surelnya, Pak Idad melampirkan sebuah modul ringkas mengenai seni ekspresionisme. Kendati ringkas, namun jumlah halamannya masih di atas dua ratus. Kucetak modul tersebut pada lembaran kertas A4, lantas meminta tolong Bi Diah untuk menjilidnya di tukang fotokopian. Saban hari berikutnya kulahap modul itu hingga tuntas.

Seni ekspresionisme berjalan terbalik dengan seni yang kulakoni selama ini. Selepas membaca modul Pak Idad, mau tak mau definisi seniku perlu dirombak ulang. Bukan keindahan semata. Bukan sekadar penyejuk mata.

Seni harus hidup, begitu kata Pak Idad. Dalam ekspresionisme, kuas bukan lagi sebagai alat lukis. Namun ia berfungsi sebagai jembatan. Hantarkan secarik jiwamu ke dalam kanvas. Biarkan lukisanmu bernapas.

Namun nyatanya, ocehan tak segampang itu terlaksana. Tanpa panduan objek di depan mata, selama berjam-jam aku hanya beradu bengong dengan kanvas kosong, merelakan cat dalam palet dikeringkan semilir angin. Aku baru saja hendak pindah cari inspirasi ke pekarangan belakang ketika Bi Diah tergopoh-gopoh menghampiriku dan berkata, “Ada tamu di depan, Den.”

“Siapa, Bi?” tanyaku.

“Dik Bagas sama ... nggak tahu sama siapa.”

Kutaruh peralatan lukisku kembali di kamar dan melihat ada apa Bagas bertandang siang bolong begini. Dan kalau bukan dengan orang tuanya, lantas anak itu ke sini dengan siapa?

Baru satu kakiku menapaki beranda depan, Bagas sudah menghambur, mendekapku dengan lengan mungilnya. “Hey, nggak sekolah?”

“Libur,” ia menjawab pendek.

Namun tak sampai satu menit, perhatianku sudah teralihkan pada sosok yang berdiri canggung di sebelah kursi rotan. Rambutnya yang berombak hitam tergerai membingkai wajah. Kemeja flanel kotak-kotak tak dikancingkan membungkus kaus abu-abu di baliknya dengan bagian lengan digulung hingga batas siku. Seulas senyum yang sama canggungnya lepas ke udara terbuka.

“Hey,” Sarah menyapa kaku.

“Hey.”

“Aku haus!” Bagas sekonyong-konyong berseru.

Lihat selengkapnya