Genap satu bulan sudah aku menjadi tahanan rumah. Ragam referensi yang menyokong minatku sudah kulahap tuntas. Namun, aku masih belum mencapai titik puas. Sebagaimana yang kita semua tahu, guru terbaik adalah pengalaman. Maka pada suatu petang di akhir pekan, kucetuskan gagasan itu pada orang tuaku.
“Aku kepengin belajar sama Pak Idad beberapa waktu,” kataku.
“Mau belajar apa lagi? Lukisan kamu sudah bagus-bagus, Gas,” Mama menyahut lembut. Semenjak aku menuruti titah mereka untuk tak ke mana-mana, drama dalam keluarga ini sedikit berkurang.
“Pak Idad nggak mungkin ke sini,” Papa balas menyahut. “Kalau nggak salah seminggu lalu istrinya baru lahiran.”
“Aku yang ke sana.”
Hening itu kembali hadir. Setegas taplak meja, cangkir kopi, dan Bi Diah yang tengah menyapu teras depan. Aku sudah mempersiapkan diri untuk kecewa ketika tiba-tiba Papa menjawab, “Oke. Mau berangkat kapan?”
“Besok?”
Ide tersebut berhasil di-acc tanpa perintang apa pun.
Malam harinya kukemasi barang-barang yang hendak kubawa ke Jakarta. Jatahku di sana hanya sepuluh hari. Itu pun hasil tawar-menawar dengan Papa. Satu minggu aku yang protes, dua minggu Papa yang protes.
Satu koper kulit kusiapkan khusus untuk alat-alat lukis. Tiga gulung kanvas, satu set dudukan kayu yang bisa dilipat, beberapa paket cat ragam jenis, beberapa batang kuas dan pensil, serta sekotak sarung tangan lateks yang baru dibeli dari apotek. Barang-barang lain yang nanti mungkin kubutuhkan bisa dibeli atau dipaketkan ke Jakarta.
Aku duduk di meja belajar, menimbang-nimbang untuk menghubungi sebaris nomor yang sudah siap panggil di layar ponsel. Mas Wira sudah kuberitahu lebih awal. Namun yang satu ini, aku masih dilanda bimbang antara perlu memberitahunya atau tidak. Dan akhirnya kuputuskan untuk mengesampingkan ponselku, kemudian meraih jilidan modul Pak Idad untuk dibaca ulang.
Pak Gusman, sopir dari kantor Papa, tiba pukul setengah delapan kurang sepuluh keesokan paginya. Kami yang saat itu kebetulan sedang sarapan, akhirnya mengajak Pak Gusman sarapan bersama. Namun ia menolak dengan santun dan memilih untuk minum kopi dan goreng ubi di teras depan.
“Kamu bisa pakai rumah yang di Menteng,” Papa tiba-tiba berkata. “Pagi ini sudah ada yang bersih-bersih di sana. Kamu sampai ke sana harusnya sudah resik.”
Kujawab dengan kunyahan dan anggukan.
Pukul delapan lebih seperempat, aku sudah siap berangkat. Gesit, Pak Gusman memasukkan dua koperku ke dalam bagasi sedan putih yang parkir di pekarangan depan. Namun modul Pak Idad kupisahkan ke dalam ransel supaya bisa dibaca dalam perjalanan.
“Jaga diri, Nak.” Mama mendekapku cukup erat. Ini adalah kali pertama kami terpaut jarak antar kota. Namun, aku yakin pengalaman tak menyenangkan sebulan lalu itu telah membuat mereka percaya aku tidak akan berbuat yang macam-macam.
Papa menepuk pundakku sekilas sebelum aku melangkah masuk ke kursi penumpang.
***
Kulit dahiku mulai melembap begitu kami memasuki Jatinegara. Tubuhku yang sudah dimanjakan suhu Bandung, harus kembali beradaptasi dengan garangnya temperatur Jakarta, membuat mobil ini terasa seperti kukusan bakpao.
“Bisa besarkan AC-nya, Pak Gusman?” kataku.