Untuk mengefektifkan waktu, Pak Idad mengusulkan supaya aku ikut bimbingan dengan mahasiswanya. Terpaksa usulan itu kusetujui lantaran tak mau mengganggu waktu Pak Idad di rumah. Beliau pasti sudah cukup kerepotan dengan hadirnya seorang bayi.
Pukul sembilan, aku kembali memarkirkan sedan putih di pelataran parkir kampus Pak Idad mengajar. Kami janjian di studio seni setengah sembilan. Sengaja kudatang agak terlambat supaya tak perlu berbasa-basi dengan orang-orang baru di sana. Ini adalah pertama kalinya aku kembali masuk ke lingkungan sosial normal sejak lulus SD dulu.
Pak Idad bersama tiga mahasiswa pilihannya menempati ruang kosong di belakang studio. Ketibaanku menjeda aktivitas apa pun yang tadi sedang berlangsung. Empat pasang mata mendongak menatapku. Tiga penuh selidik.
“Selamat datang, Gagas,” Pak Idad menyambut. “Silakan duduk.”
Tempatku sudah disiapkan, bersisian dengan seorang pemuda dengan rambut terkucir kuda. Nuansa hangat musim gugur sudah separuh terlukis di atas bentangan kanvasnya. Dari ekor mata, kutangkap basah pemuda itu mengerling beberapa kali tatkala kujejalkan kedua tangan ke dalam sarung lateks.
Pak Idad mulai berkeliling, memandu setiap orang meniti proses kreatif masing-masing. Dari mulai pemilihan warna, sudut pandang, arah jatuh cahaya, hingga sapuan kuas. Aku sendiri kembali beradu tatap dengan kanvas kosong dalam rentang jeda cukup lama.
“Belum ada ide?” Tahu-tahu pemuda di sebelahku bersuara.
“Belum.”
“Lu aliran apa?” ia kembali bertanya. Kemudian buru-buru ia menyorongkan satu tangan. “Eh, sebelumnya kenalin, gue Amar.”
Kujabat erat tawaran yang terulur itu. “Gagas.”
“Gagas ini mau belajar ekspresionisme, katanya.” Tahu-tahu Pak Idad sudah berada di belakang kami, menepuk pundakku. “Gas, Amar ini yang lukisannya kamu lihat kemarin.”
“Yang mana?” tanyaku, mengingat kemarin aku nyaris disuguhi satu galeri.
“Good Evening, Winter,” Amar menjawab. “Itu gue bikin sekitar enam bulan lalu.”
Kini giliran pundak Amar yang ditepuk Pak Idad. “Amar ini bisa dibilang ahlinya ekspresionisme. Kamu bisa belajar banyak sama dia.”
Bubar kelas itu, aku jadi satu-satunya orang yang keluar dengan kanvas hampa.
Amar mengajakku makan siang di warung nasi belakang kampus. Harga kafetaria tak bersahabat dengan kantong mahasiswa, katanya. Maka kami berjalan melewati kelokan gang sempit dan keluar lewat gerbang belakang. Tepat di samping warung nasi kecil yang disemuti kerumunan mahasiswa kelaparan.
“Penuh, Mar,” kataku.
“Di atas masih kosong,” Amar balas menyahut. Sejurus kemudian ia sudah menyelipkan tubuh rampingnya di antara impitan tubuh-tubuh lain.
Aku tak yakin mau ambil risiko dicucuri keringat dalam perebutan oksigen. Jadi kutunggu sampai kerumunan di ambang masuk itu bubar sebelum menyusul Amar ke dalam.
“Lu lama,” komentarnya sembari menyeruput teh tawar yang baru ia tuang dari dalam poci. “Mau makan apa?”
Kuambil piring kaca dari rak dan mulai mengisinya dengan nasi serta lauk-pauk.
Atas yang dimaksud Amar adalah ruang keluarga si empunya warung nasi. Selembar karpet plastik digelar di atas lantai kayu, tepat dihadapan televisi tabung yang tengah menayangkan kartun siang. Dua bocah yang umurnya mungkin sekitar lima tahunan, ribut memperebutkan tokoh favorit mereka hingga salah satunya meledak dalam tangis dan turun dari sana. Tak berselang lama, bocah satu lagi menyusul.
“Memangnya boleh makan di sini?” aku bertanya curiga.
“Boleh. Lu nggak usah khawatir.” Amar menepuk dadanya penuh percaya diri. “Ada gue.”
Dan di sanalah kami, makan siang sambil ditontoni televisi.
Di sela-sela makan, Amar asyik menjelaskan lukisan yang tengah ia garap untuk lomba. Katanya, hadiahnya lumayan. Bisa buat bayar indekos satu tahun. Kemudian pada akhir penuturan, barulah ia melemparkan pertanyaan, “Jadi lu nggak kuliah seni? Autodidak?”