ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #16

Episode 16 - Kanvas yang Berhasrat

Hari kelima di Jakarta, kuputuskan untuk tak ke mana-mana. Dikawani segelas susu hangat buatan Mbok Tini, serta lantunan lagu ABBA yang berkumandang nyaring, aku duduk di balkon rumah, menekuni berlembar-lembar kertas HVS dari pagi tadi.

Pelajaran singkat bersama Amar yang nyaris terasa seperti tak belajar sama sekali, telah membuka sisi lain pandanganku pada dunia seni. Kini, aku seperti melihat bahwa semesta ini tak lagi berdimensi tiga. Ada satu dimensi tambahan yang aku sendiri pun masih menerka-nerka istilahnya.

Semua pihak adalah seniman. Namun hanya segelintir yang mau mengakui predikat tersebut. Ada kalanya seni bukan sekadar sedap dipandang, tapi juga melompat jauh melewati batasan nalar. Seni itu hidup. Hidup itu seni. Begitulah kira-kira intisari yang bisa kurangkum dari hasil didikan Amar.

Bola-bola kertas hasil remasan tangan sudah menyeraki lantai balkon. Namun saat ini kusadari bahwa semakin banyak gumpalan kertas tercecer, semakin dekat pula aku pada pencarian selama ini. Berawal dari iseng, kini kupahami bahwa seni bukan hanya meniru. Bukan hanya memperindah. Namun masih jauh dari itu semua.

Empat belas tahun terakhir ini, hanya ada satu hasrat yang kubungkam rapat-rapat. Sebab aku tahu, tak seorang pun bakal menyanggupinya kalau sampai kuutarakan. Aku ingin kembali berkawan dengan air. Aku ingin kembali merasakan sejuknya air tawar, segarnya air mandi, atau menyenangkannya air hujan. Aku ingin semua yang pernah direnggut, kembali lagi seperti semula.

Pada selembar kertas HVS-ku yang entah keberapa, aku mengarsirkan grafit pensil menjadi hujan di atas hamparan padang rumput. Tumpukan awan di bagian atas kertas bergeming, namun dalam benakku, mereka berarak buas, menggugus menjadi satu mata badai. Hembusan angin yang tak terasa di kertas, justru menyapa kelima indraku dengan sebegitu beringas. Barang sesaat, aku telah bertransformasi menjadi objek amukan badai.

Di dalam kamarku, ABBA mendendangkan lagu Dancing Queen dengan semangat empat-lima. Membuatku ingin turut serta meledak ke dalam serangkaian koreografi. Pada lembar HVS yang entah keberapa, kutemukan apa yang kucari.

Hari keenam, kembali kutemui Amar di studio seni dan mengutarakan ideku padanya.

“Kenapa hujan?”

Halo? Apa kabar undang-undang hasil cetusanku itu, ya?

“Soalnya aku suka hujan.”

Jawabanku disambut dengusan remeh dari Amar. “Lu itu persis kayak anak-anak Sastra.”

“Sastra juga seni, kan?” balasku.

“Beda.”

Selama tiga jam, aku mendekam sendirian di kelas kecil itu. Amar dan yang lainnya tengah kuliah. Pak Idad mengajar. Namun, kesendirian justru membuatku semakin terbuka dan lapang menerima ide-ide baru. Tersalinlah hasil coretan tanganku dari kertas HVS ke atas kanvas setelah sedikit polesan sana-sini. Namun, seumpama lidah mencecap masakan kurang garam, mataku juga menangkap satu kekurangan dalam seni mentah ini. Karena ini adalah seni manusia, maka bintang utamanya pun haruslah manusia.

Kembali aku teringat pada lukisan Good Evening, Winter yang memiliki dua sisi seperti bulan. Sisi yang menghadap, serta sisi yang membelakangi. Setidaknya begitulah cara kerja ekspresionisme menurut sudut pandangku. Melihat dan mengerti adalah dua poin berlawanan.

Kembali direntangi kebuntuan, kutinggalkan pekerjaanku di sana dan mengemudi keluar dari area kampus.

Lihat selengkapnya