ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #17

Episode 17 - Desires

Hari ketiga belas, lukisan tak berjudul itu berhasil kurampungkan dan dengan berbangga hati kupajang di ruang tamu. Tak habis-habis Mbok Tini berdecak kagum setiap kali melewatinya. Meyakinkanku kalau lukisan itu lebih bagus dari lukisan Nyi Blorong yang ia lihat di rumah majikan sebelumnya. Saat kutanya ia tahu dari mana kalau lukisan itu adalah Nyi Blorong, Mbok Tini sontak menjawab, “Kakek si Mbok dulu pernah diincar Nyi Blorong, Den. Makanya tahu.”

Malam terakhir di Jakarta, kuundang Amar makan malam bersama di rumah. Sesekali ingin kuisi lambung itu dengan makanan lain selain telur ceplok dan tumis buncis. Kendati tak pernah mengalami, namun aku nyaris tahu pasti lika-liku kehidupan seorang mahasiswa indekos.

Reaksi pertama yang ditonjolkan Amar begitu tiba bersama Pak Idad adalah keterkejutan luar biasa. Ia tak menyangka aku adalah salah satu penghuni cluster elit yang hampir tiap hari ia lewati dalam perjalanan ke kampus.

“Kalau tahu rumah lu segedong ini, tiap hari gue bakal numpang makan,” sahut Amar tanpa rasa malu.

“Salahmu sendiri nggak pernah tanya-tanya,” balasku.

Malam itu, kuajak serta Mbok Tini untuk makan bersama. Selepas hari ini, ia perlu mencari rumah baru untuk diurus. Atau membuka usaha kecil dari hasil bekerja empat belas hari di rumah ini yang kuyakin bayarannya tak sedikit. Malam itu, dikelilingi empat orang tak bertautan darah, kutemukan keluarga yang kucari sekian lama.

Pak Gusman tiba keesokan harinya di tengah agenda sarapan. Ia perlu berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar jadwal kereta. Namun alih-alih ikut makan bersama, ia memilih menunggu di teras depan sembari disuguhi secangkir kopi pekat dan bakwan udang oleh Mbok Tini.

“Lukisanmu mau dibawa pakai mobil juga?” tanya dr. Ferdi.

“Boleh, kalau muat.”

“Pasti muat. Kita cuma bertiga.”

Betul, lukisan itu muat dimasukkan ke dalam sedan. Namun kami bertiga jadi perlu duduk berimpitan di kursi depan sepanjang jalur Jakarta-Bandung.

***

Waktu tempuh nyaris tiga jam membuahkan ruam-ruam kecil di beberapa bagian tubuhku, mengharuskanku untuk mengoleskan salep anti-alergen dan menenggak sebutir antihistamine sebelum istirahat.

Namun berbaring di atas tempat tidur tak serta-merta membuatku luruh dalam kantuk. Aku justru semakin terjaga, menopang bagian belakang kepalaku dengan lipatan lengan sembari menontoni langit-langit. Ponsel tergeletak di atas perut dan tidak tahu harus kuapakan.

Setengah jam lalu kutimbang-timbang untuk mengirim SMS singkat pada Mas Wira atau Sarah, mengabari kalau aku sudah kembali. Namun entah kenapa ragu justru memundurkan niatku. Maka di sinilah aku berada. Tepat di persimpangan kantuk dan terjaga.

Tak berselang lama, aku tak kuat lagi terkurung dalam situasi ini. Kusambar kunci mobil dari dalam laci meja, lantas bergegas ke satu-satunya tempat yang terpikir olehku.

Pertunjukan terakhir gelanggang baru saja usai. Melawan arus manusia yang mengalir keluar, aku menerobos masuk hingga kutemukan orang yang kucari.

“Hey,” aku menyapa Sarah yang tengah menenggak sebotol air mineral di tepian kolam. Kubiarkan semeter jarak terbentang antara kami.

Sarah menoleh. Binar di matanya hidup begitu menangkap sosok yang barangkali tak sepatutnya berada di sini. Separuh bingung, separuh entah apa, ia balas menyapa, “Hey.”

“Ganggu?”

Lihat selengkapnya