Sebagai balasan karena sudah dihadiahi lukisan, Sarah bersikeras ingin mengajakku mengunjungi tempat-tempat di Bandung yang belum sempat kujamah. Kenyataannya, kendati aku lebih dulu mendiami kota ini, namun Sarah sudah melihat lebih banyak. Mobil pick-up butut itu telah menggilas lebih banyak aspal jalanan ketimbang sedanku yang mulus seperti baru keluar dari showroom.
Lama-lama tawaran—ralat—paksaan itu jadi sedikit mengesalkan. Akhirnya kusetujui niat baiknya itu.
Bandung memiliki teritorial yang cukup luas. Apalagi kalau sudah mencakup wilayah kabupatennya. Maka tak mengherankan ada lebih banyak tempat wisata tersebar di titik-titik zona kabupaten. Hal-hal yang sulit dibangun di tengah metropolis, akhirnya didirikan di sana. Dalam lingkup suasana masih asri.
Pada Kamis pagi, Sarah memberitahuku kalau ia sudah mengajukan cuti sehari penuh khusus dalam rangka balas budi. Menunggangi sedan hitamku, bersama kami melaju menuju Jalan Dago Giri di mana sebuah kawasan wisata bertajuk Dago Dreampark berdiri.
Entah siapa yang memulai, namun topik lomba lukis itu kembali terpancing ke permukaan. Menyela lantunan musik keroncong dari radio mobil yang sudah mengawal kami sejak awal perjalanan tadi.
“Ini kesempatan bagus buat kamu, Gas!” Sarah tetap dengan argumen ngototnya. “Percuma kamu bikin seribu lukisan kalau dunia nggak tahu lukisan kamu.”
“Lukisan aku sudah terjual ke banyak orang, Sarah,” aku mengingatkan. “Sudah menghiasi banyak ruang tamu orang lain.”
“Kamu puas dengan cuma begitu?”
Sebagai jawaban pamungkas, kuberi Sarah satu kedikan bahu.
Aku bukannya tak menyadari kesempatan yang tersaji gamblang di depan muka. Banyak hal akan berubah seandainya aku menang lomba lukisan Aries Art itu. Namun, kesempatan selalu datang bersama risiko sepadan. Kalau aku menang, artinya aku berkewajiban untuk memperkenalkan diri pada dunia. Tapi, ah, siapa juga yang bakal menang dengan lukisan butut begitu. Tapi kalau aku daftar, kesempatan menang bakal tetap ada meskipun cuma setipis bulu hidung.
Setelah bertanya beberapa kali pada pejalan kaki, sampailah kami ke tempat tujuan. Ragam wahana bermain serta deretan spot foto berbayar sontak memberondongi kami sejak melangkahi ambang masuk. Hamparan pucuk pepohonan hijau membentang sejauh mata memandang. Dadaku terasa seperti terimpit segumpal beban. Yang terbentang di hadapanku saat ini bukanlah seni manusia. Ini seni Tuhan.
Kendati bukan akhir pekan atau masa libur panjang, namun tempat ini cukup padat disesaki pengunjung. Dari mula yang datang berdua, bertiga, bersepuluh, sampai kulihat ada dua puluhan orang berkaus seragam berkerumun dekat bus pariwisata. Kalau tak salah, wisata terakhirku adalah ke Kebun Teh Medini di Jawa Tengah sewaktu perpisahan kelas enam SD dulu.
Semakin lama kami berjalan, semakin menanjak pula jalur yang perlu dilewati. Tanda-tanda kehadiran keringat mulai bisa kuantisipasi.
“Istirahat dulu,” seruku pada Sarah yang jalan semeter di depan.
Kami menemukan bangku tanam dengan payung-payung mungil ragam warna tergantung pada seutas kawat di atasnya. Dari dalam saku ransel, kuraih sebotol susu yang mulai menghangat.
“Nih.” Tahu-tahu Sarah menjulurkan selembar sapu tangan kotak-kotak yang bersih dan terlipat rapi.