Musim basah tiba, mengepung Kota Bandung dengan nuansa mendung kelabu. Sejak matahari terbit sampai terbenam, kota ini tak henti-hentinya dirundungi kepulan awan memar yang menggantung gontai di sekujur langit. Siap menumpahkan muatan hujan kapan saja.
Atas desakan semua pihak, aktivitas luar rumahku kembali dibatasi. Sesi konsultasi bersama dr. Ferdi digusur ke rumah. Kunci mobil disita. Dan kini aku jadi satu-satunya orang di rumah ini yang tak punya akses membuka pintu gerbang. Hujan adalah momok terbesar buatku. Seumpama genderuwo dan kuntilanak.
Lama aku merenung di depan jendela, menontoni tempias gerimis menghujani tanah di luar sana. Bertahun-tahun lebih aku berusaha berdamai dengan keadaan, namun bertahun-tahun lebih pula aku merasa gagal. Anomali yang kuidap ini terlampau lain dari yang lain. Membuatku terkadang merasa macam alien dari Neptunus.
Sarah rutin meneleponku di sela-sela waktu senggangnya. Cuaca yang tak bersahabat rupanya turut melandaikan kurva penjualan karcis. Beberapa sesi pertunjukan terpaksa dibatalkan lantaran tak ada pengunjung sama sekali.
Menjelang deadline pengiriman karya untuk lomba Aries Art, Mas Wira beberapa kali menghubungiku, memintaku untuk berpikir ulang dan mendaftarkan lukisan Desires sebelum lomba ditutup. Namun keputusanku yang sudah bulat membuahkan penolakan untuknya.
Sepanjang masa karantina, aku jadi punya kebiasaan tidur larut. Selepas tengah malam, aku biasa duduk di atas tempat tidur, memangku buku sketsa A4 yang sebelumnya jarang kupakai. Lembar demi lembar kuisikan torehan batang grafit, membentuk apa saja yang kukehendaki. Namun fenomena lukisan Desires itu tak lagi terulang. Seringnya aku hanya duduk sembari memandangi lembaran kosong yang tak bisa diapa-apakan. Kemudian begitu aku mulai merasa tak enak badan, segera kuhentikan kebiasaan itu.
Sama seperti air, jatuh sakit pun harus mati-matian kuhindari. Terserang demam ringan saja bisa berakibat fatal buatku. Obat-obatan pereda demam selalu bekerja lewat sekresi keringat. Jadi pilihannya selalu: membiarkan demam di dalam tubuh, atau mengundang alergiku kambuh.
Sesi konsultasi bersama dr. Ferdi kembali menjadi rutinitas puncakku untuk saat ini. Setelah menumpahkan berember-ember energi dan imajinasi ke atas kanvas, mood melukisku mulai sedikit surut. Ide-ide mendadak tumpul, menyisakan diriku adu bengong dengan kanvas kosong.
Pada satu sesi, dr. Ferdi mengusulkan supaya kami mencoba imunoterapi. Sebetulnya, gagasan tersebut sudah lama muncul. Namun baik aku atau dr. Ferdi belum berani ambil tindakan. Waktu itu kami masih meraba-raba dalam gelap. Sama-sama belum tahu sampai sejauh mana alergiku bisa membahayakan tubuh.
Imunoterapi pada dasarnya adalah melatih imunitas tubuhku supaya tidak bereaksi berlebihan tatkala berinteraksi dengan substansi alergen. Singkatnya, kami mencoba untuk mencomblangkan imuntias tubuh dengan air.