ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #20

Episode 20 - Sekarang atau Tidak Pernah

Seperti kata Bi Diah, tak ada RT dan RW di alamat si pengirim. Tak ada pula kecamatan atau kelurahan sebagaimana lazimnya surat lokal. Kalau bukan karena namaku yang ditulis tangan dengan sedemikian apik di pojok kanan bawah, aku pasti sudah berasumsi surat ini salah sasaran.

Kembali kutekuni nama dan alamatku. Barangkali ada beda satu huruf yang membuat surat tak bersalah ini nyasar kemari. Namun semuanya tertulis benar. Bahkan bubuhan tanda titiknya pun persis sama. Ragu, akhirnya kuberanikan diri merobek segel amplop.

Kop Aries Art kembali tercetak di bagian atas surat berbahan kertas jeruk. Menggunakan font Calibri, untaian kata-kata berbaris rapi di bawahnya, membentuk tiga potong paragraf.

Kata demi kata kutekuni sehati-hati mungkin. Begitu tiba di salam penutup, kubaca surat itu sekali lagi, memastikan pengetahuan bahasa Inggrisku tak membuatku salah menangkap maksud yang tersirat dalam selembar kertas jeruk itu. Dan ternyata memang benar, Aries Art mengundangku untuk datang ke Amsterdam sebagai salah satu pemenang lomba lukis yang akan turut serta dalam tur pameran ke tiga kota besar Eropa: Amsterdam, Paris, dan Venesia.

“Surat dari siapa, Den?” Suara Bi Diah yang sekonyong-konyong muncul membuatku tersentak.

“Bukan dari siapa-siapa, Bi,” kataku, berusaha melepas seutas senyum supaya tampak lebih meyakinkan. “Aku ke kamar dulu, ya.”

Begitu pintu kamar membanting tertutup, aku bergegas menyalakan laptop dan langsung mengakses situs resmi Aries Art. Di halaman depan, sebuah entri baru ditambahkan satu minggu lalu. Headline tulisan itu tercetak besar-besar dalam nuansa warna biru.

THE WINNERS OF ARIES ART PAINTING CONTEST.

Dan di sanalah kutemukan namaku. Terapit dua nama asing yang jelas bukan berasal dari Indonesia.

Kebingunganku mendadak tersambung pada seutas benang merah. Aku tidak mengirimkan lukisan itu. Tapi aku juga tidak memilikinya sekarang. Tanpa menunggu apa-apa lagi, kuraih ponsel yang tergeletak di atas selimut, lantas menghubungi satu-satunya kontak berawalan huruf S di ponselku.

Sarah baru menjawab teleponku pada upaya ketiga. Suara itu terdengar bersusulan dengan penggal-penggal napas yang berusaha ia kumpulkan. Tentu saja, aku pasti menelepon di jam kerja.

“Kamu kirim lukisanku ke Aries Art?” semburku sebelum Sarah sempat melayangkan pertanyaan apa pun.

Lama sebelum pertanyaan itu akhirnya bersahut. Bukan dengan jawaban, namun dengan pertanyaan lagi. “Kamu tahu dari mana?”

“Ada surat yang datang.”

Hening itu pecah oleh suara antusias Sarah di ujung sambungan. “Surat? SURAT? Kamu MENANG?”

Rencanaku untuk marah-marah pada Sarah terpaksa dibatalkan setelah berondongan ucapan selamat dan kegembiraan menggelontor memasuki lubang telinga. Sadar kalau masalah ini tak akan beres lewat telepon, akhirnya kuputuskan untuk menyuruh Sarah mampir sepulang ia bekerja.

Lihat selengkapnya