ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #21

Episode 21 - Keputusan

Semilir angin pagi membawa serta nuansa kesegaran sisa hujan yang mengguyur Kota Bandung sejak dini hari tadi. Tempias hujan yang mengetuk-ngetuk jendela kamar telah membuatku terjaga lebih awal. Kembali kubuka selembar surat yang dikirim dunia padaku dan mulai menekuninya lagi.

Untaian kata yang kubaca, kian membawaku jauh ke dalam persimpangan jalan. Setiap keputusan yang kuambil, akan berimbas pada berbagai aspek yang menyokong skema kehidupanku. Pergi berarti mengesampingkan segala perkara logika demi mengejar ambisi semu yang bisa kupastikan akan berbuntut kepuasan belaka. Tinggal berarti menonjolkan akal sehat di atas hamparan hasrat yang menanti untuk digenapi. Belum lagi perkara “kesempatan” yang terus-menerus membayangiku sejak ketibaan surat ini. Setengah jam kemudian, barulah kusadari aku tengah berkutat pada sejalur lingkaran tak bertepi.

Pagi itu, selepas sarapan, aku terpaksa mengungsi ke beranda depan karena Bi Diah mau membenahi kamarku. Kubekal sekotak cat air dan kuas, kemudian kuambil salah satu pot keramik polos Mama yang baru dibeli kemarin untuk dijadikan kanvas. Barangkali aku membutuhkan kanvas lain agar pandanganku tak jenuh terus disuguhi bentangan putih yang entah harus kuapakan.

Pelajaran singkat bersama Amar di Jakarta kembali terulang dalam benakku. Hasrat akan memandu kehendak. Dan kehendak akan memandu sapuan kuas. Maka kubiarkan hasrat dan kehendak mengambil kuasa atas diriku. Tak berselang lama, aku mulai terbenam dalam aktivitas pengisi waktu senggang.

Pot itu kini tak lagi polos. Warna putih dasarnya telah kututupi dengan gradasi jingga berpadu hitam. Satu demi satu ikon Kota Paris, Amsterdam, dan Venesia menghiasi ketiga sisinya. Sementara di sisi keempat, kulukis satu segitiga terbalik yang menyimbolkan unsur air dalam alkimia. Maka tercurahkan kembalilah hasratku ke atas media yang bisa dibawa-bawa.

Hujan kembali turun menjelang siang. Rasa sepi yang kualami kian menyiksa seiring guliran hari. Tak ada kegiatan yang bisa kulakukan. Aktivitas melukisku masih tersendat di satu titik. Sementara itu, tanggal keberangkatan semakin dekat. Namun keputusan belum juga kudapat.

Pada satu makan malam, tahu-tahu amplop berkop Aries Art terbanting ke atas meja. Disusul selarik hening yang berlangsung cukup lama. Derap langkah Bi Diah di dapur menjadi satu-satunya suara latar belakang adegan.

Lamat-lamat kuangkat pandangan dari amplop itu, bertemu langsung dengan sorot mata Papa yang digeluti berbagai macam emosi. Namun yang paling menonjol tetap yang paling keras.

“Kamu mau ikutan itu?” tantangnya. Dari sudut mata, sorot mata Mama pun terpaku padaku. Namun dengan intensitas berbeda.

“Enggak,” jawabku, berusaha membiasakan nada suara.

“Jangan bohong!”

Sunyi kembali mencekam. Rasanya jarang sekali ada kehangatan di meja makan ini. Namun kali ini, aku tak bisa diam saja dan membiarkan diriku diinjak semena-mena. Kutarik sehela napas sebelum berkata lebih mantap, “Enggak!”

Jawaban itu menghadiahiku picingan mata tajam penuh selidik. Tak gentar, kutantang sorot itu dengan percaya diri. Aku tidak bohong. Aku memang tak berniat ikut lomba lukis Aries Art.

Papa memungut kembali amplop yang segelnya sudah koyak itu, mengacungkannya di udara. “Terus gimana kamu bisa dapat ini?”

Untuk pertanyaan yang satu itu tak bisa kujawab jujur. Aku tak mau benang kusut ini kian mengusut kalau sampai Papa terlibat di dalamnya. Namun, belum sempat aku menjawab, Papa sudah menyambar sendiri jawabannya. “Pasti gara-gara perempuan gelanggang itu, kan?”

Lihat selengkapnya