Taksi yang kutumpangi menepi sebentar ke sebuah bank yang sudah mau tutup. Dengan sigap, aku melompat turun dan separuh berlari menghampiri seorang satpam di dekat pintu masuk. Sebelum ia sempat menyapa, aku sudah duluan menyemburkan empat penggal kata. “Masih bisa buka rekening?”
Lelaki itu memeriksa arloji di pergelangan tangannya, kemudian menjawab, “Masih. Kebetulan sudah sepi, Pak.”
Waktu setengah jam kupakai untuk membuka rekening baru. Begitu kartu ATM sudah dalam genggaman, kugunakan fasilitas mesin ATM di samping bangunan bank untuk memindahkan seluruh dana dari tabungan lama ke tabungan baru. Aku perlu mengamankan seluruh uangku sebelum Papa berinisiatif memblokir aksesnya.
Taksi sudah melaju setengah kilometer dari bank sebelum kusuruh berhenti lagi. Di sebuah konter pulsa kecil yang bersisian dengan warung nasi, aku membeli nomor ponsel baru. Koneksi antara aku dan orang tuaku harus terputus saat itu juga.
Kembali ke dalam taksi, aku melihat jam sudah menunjukkan pukul tiga. Bi Diah pasti sudah kembali dari belanja, kemudian segera menyadari ketidakhadiranku di sana. Barangkali, saat ini Papa sedang dalam perjalanan ke rumah, meninggalkan setumpuk jadwal padat di meja sekretarisnya.
Di ponsel, aku mengecek kalender yang tanggal-tanggalnya sudah kutandai. Aku sudah harus sudah mulai mengurus dokumen perjalanan besok, supaya bisa sampai ke Amsterdam tepat waktu.
Begitu taksi berbelok memasuki Jalan Braga, rasa lega membilas tubuhku, mengurai setiap simpul otot yang sedari tadi terasa tegang lantaran apa yang kuperbuat ini akan berimbas pada banyak hal. Sekali lagi, kutolehkan kepala ke belakang, memastikan tak beradu pandang dengan pelat nomor mobil Papa.
Mas Wira mengawasi sebuah taksi yang menepi ke lapak lukisannya. Kemudian sesungging senyum timbul begitu melihat aku melangkah keluar.
“Barang-barang saya tolong bawa ke dalam, Pak,” sahutku pada sang sopir.
Sementara sopir taksi itu mengangkuti koper-koperku ke dalam galeri, kuhampiri Mas Wira yang tengah mengelapi bingkai lukisan. “Hei.”
“Piye kabare?” Mas Wira dengan sigap menyambut uluran tanganku. “Sampeyan sudah boleh keluar?”
“Baik, Mas. Mas Wira gimana?” balasku.
“Kalau masih bisa kerja berarti ndak apa-apa,” sahutnya. Kemudian dengan bingung ia menuding dua koper yang parkir di lantai galerinya. “Itu apaan?”
“Koper.”
“Sampeyan minggat?”
Dikawani dua kaleng soda, kuceritakan seluruh rencanaku pada Mas Wira. Tak lupa menyebutkan bahwa aku tetap akan meninggalkan Bandung jika tak melakukan ini. Dan di akhir penuturan, kuberitahu ia alasan aku kemari, “Mas Wira jadi plus one-ku, ya?”
“Kenapa aku, Le?” Mas Wira bertanya bingung.
Kutandaskan isi kaleng sodaku sebelum menjawab, “Kita kan sama-sama suka seni, Mas. Plus, kita bakal ke Paris! Di sana kita bisa jalan-jalan ke Museum Louvre dan lihat Mona Lisa!”
Lama Mas Wira duduk mematung. Pandangannya menyapu deretan lukisan yang terpajang di atas dinding. Kemudian setelah satu tenggakan soda, ia menjawab, “Nggak, Le. Ada yang lebih pantas buat ikut sampeyan ke Amsterdam. Orang yang sudah bikin sampeyan punya kesempatan ini.”
***