Sudah lama aku tak menyaksikan pertunjukan lumba-lumba. Jadi selang dua hari sejak aku resmi kabur dari rumah, kuhampiri loket penjualan karcis dan membeli selembar tiket pertunjukan sesi kedua. Roni, penjaga loket yang kukenal sekilas, menjentikkan ujung topinya ketika aku mendekat.
“Wah, wah, wah. Lihat siapa ini,” sambutnya.
“Sehat, Ron?” sapaku basa-basi. Kukeluarkan selembar uang dua puluh ribu, lantas menyorongkannya melewati bukaan kecil pada panel kaca.
“Gimana? Masih sukses rencana kaburnya?” Roni malah balik bertanya sembari menyodorkan secarik karcis lewat bukaan yang sama.
Aku mengerutkan kening, heran dengan begitu cepatnya kabar itu menyebar. “Sarah yang cerita?”
“Nggak perlu diceritakan siapa-siapa,” jawab Roni. “Satu gelanggang juga sudah tahu kalau situ kabur dari rumah.”
Keherananku kian menjadi-jadi. Karcis yang sedari tadi sudah Roni sodorkan, masih belum kupungut dari meja loket. “Kok bisa?”
Ekspresi wajah Roni yang sekarang kulihat jauh dari raut muka orang bercanda. Perpaduan antara kesal dan mengejek tersirat kentara di sana. “Tempo hari bapak situ datang ke sini, marah-marah. Sarah jadi korbannya.”
Saat itu juga aku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi sebongkah patung. Kedua kakiku seperti tersokong kuat jalinan rangka baja yang sengaja ditanam di titik aku berdiri. “Maksudnya bagaimana, Ron? Aku nggak ngerti.”
“Sana, tanya saja sama yang bersangkutan.” Roni mengedikkan kepalanya ke arah pintu masuk. Namun kakiku masih belum mau diajak beranjak dari sana. “Gas, jangan menghambat antrean!”
Aku menoleh, mendapati empat orang sudah berbaris di belakang punggungku. Setengah memaksakan diri, kuraih karcis itu dan bergegas menyingkir dari sana.
Pertunjukan yang tersaji tak benar-benar bisa kunikmati. Selebihnya, aku hanya duduk di tengah kerumunan penonton. Riuh sorak dan tepuk tangan tak serta-merta menyudahi gemingku.
Dalam kepala, aku memutar kembali adegan sore mendung di gang kontrakan Sarah. Raut wajahnya yang lebih mirip terluka ketimbang marah, air mata yang melelehi pipi, ucapannya yang getir padaku, semua itu adalah keping-keping puzzle yang perlahan tersusun pada tempatnya masing-masing. Saat itu bukan aku yang berlagak sehat, tapi Sarah.
Jeda antar pertunjukan kumanfaatkan untuk menemui Sarah. Perempuan itu tengah berdiri di tepian kolam, menenteng seember cumi benyai untuk makanan Vega dan Billy. Sebelum aku sempat menyapa, ia sudah menoleh. Raut itu kembali tersaji di sana.
“Cuma kru yang boleh di sini,” Sarah berkata datar.
“Aku juga kru,” sahutku.
Sarah tak mengindahkan jawabanku. Menoleh lagi pun tidak.
“Aku sudah dengar semuanya dari Roni,” kataku. Langkahku berhenti setengah meter darinya. “Ayahku bilang apa sama kamu?”