Selepas tengah malam, kantuk belum juga mau menandangiku. Lama aku mematung di depan bukaan jendela, mengamati kehidupan malam Kota Bandung mulai unjuk gigi ke permukaan.
Beberapa tempat minum dan diskotek mulai buka. Semburat jalinan cahaya dari lampu neon bangunan-bangunan itu tampak begitu kontras dengan pekatnya malam. Tak sengaja, satu-dua waria tertangkap basah olehku tengah menggoda lelaki yang lewat.
Aku tidak pergi sejauh ini hanya untuk menyerah dan kembali ke rumah. Tekadku yang sudah kepalang matang, tak mungkin diredam hanya karena seorang perempuan yang baru kukenal menyuruhku demikian. Bukankah belakangan ini aku sudah mencoba untuk tak mendengarkan apa kata orang? Lantas kenapa yang satu ini begitu penting? Kuraih kaleng sodaku yang menenggeri birai jendela, dan kutandaskan isinya dalam satu regukan. Masih dengan jendela terbuka, aku mulai beringsut ke atas kasur, dan mencoba untuk menjemput rasa kantuk yang tak kunjung bertamu.
Selepas salat Subuh, aku kembali terjaga. Di hadapanku sudah berbaris rapi dua buah koper dan satu ransel, menanti keputusanku akan dibawa ke mana mereka bertiga.
Dari dalam ransel, aku menarik keluar amplop cokelat berkancing yang isinya merupakan dokumen penunjang untuk membuat paspor dan visa. Beberapa hari terakhir, aku sudah mempelajari cara kerja dua dokumen perjalanan itu, dan bagaimana tahapan membuatnya. Sesuai anjuran dari salah satu traveling blog, aku akan mengajukan pembuatan Visa Schengen ke Kedutaan Belanda. Namun aku harus mengatur ulang sedikit jadwalku akibat sendatan tak terduga ini.
“Le?” Sebuah suara tahu-tahu hadir di belakang punggungku. Aku berbalik dan melihat Mas Wira sudah bangun di atas hamparan kasur sebelah. “Sampeyan ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain, Mas.” Buru-buru kuselipkan lagi amplop cokelat itu ke dalam ransel. “Cuma lagi cek perlengkapan saja.”
Masih separuh mengantuk, Mas Wira mengucek sebelah matanya yang tertutup helaian rambut. “Sampeyan tetap mau pergi? Sendirian?”
Pertanyaan itu sudah semalaman menghantuiku. Namun mendengarnya terucap langsung sama sekali tak memperbaiki keadaan. “Dari awal niatku kan memang mau pergi, Mas.”
“Yakin mau pergi sendiri? Kalau ada apa-apa di sana, gimana?”
Semilir angin subuh menerpa tengkukku, membuat bulu kuduk seketika meremang. Itu jugalah pertanyaan yang tak jemu kutanyakan pada diri sendiri. Ragam probabilitas, dari mulai yang logis, hingga yang magis, kerap berseliweran dalam kepala bak ikan remora. Hidup-matiku kini seperti bergantung pada keberuntungan.
“Aku bisa jaga diri,” sahutku, membohongi kami berdua. Sebelum Mas Wira sempat menyahut, aku mulai beranjak, mengenakan sandal karet, lantas menyeret langkah ke kamar mandi.
Selama beberapa hari ke depan, aku mulai bolak-balik mengurusi dokumen perjalanan seorang diri. Entah sudah berapa kali aku pergi ke tukang fotokopi. Menggandakan dokumen, men-scan, atau cetak foto yang entah kenapa selalu salah ukuran.
Kemudian, malam sebelum aku dijadwalkan wawancara di Kedutaan Belanda, kuhabiskan semalam suntuk di depan laptop, meriset pertanyaan-pertanyaan macam apa yang biasa ditanyakan oleh petugas di sana. Puluhan situs dan video YouTube kubuka dan kutarik intisarinya. Aku bahkan menyempatkan diri menonton film berbahasa Belanda guna memperkaya perbendaharaan kata. Saat Mas Wira lewat, iseng aku menyapanya, “Goedenavond.” Ia langsung menghadiahiku kernyitan dahi dan gelengan kepala.
Sembari menunggu visaku jadi, aku memberanikan diri untuk datang kembali ke kontrakan Sarah. Kali ini, niatku bukan untuk mengajaknya pergi, namun untuk mengambil kembali apa yang dulunya jadi milikku.
Sarah tak di rumah saat aku tiba. Tetangga sebelahnya, yang membuka warung lotek, mengatakan kalau tadi sore Sarah dijemput seorang laki-laki gondrong.
“Laki-lakinya Jawa medok?” tanyaku memastikan.
“Iya, Kang.”
Cukup lama aku menunggu di sepetak teras rumah itu. Tepat pukul delapan lewat sepuluh, Sarah muncul, terbalut kemeja kotak-kotaknya yang biasa.
“Kamu dari mana?” pertanyaan itu meluncur mulus tanpa bisa kubendung.