ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #25

Episode 25 - I Amsterdam

Aku mendarat di Bandar Udara Internasional Schiphol nyaris pukul setengah sebelas malam. Selesai dengan urusan imigrasi, kuseret dua koperku keluar dari sana dan langsung memanggil taksi. Letih yang kurasakan kian menjadi begitu kuhempaskan tubuh ini ke jok belakang.

“Where are we going, Sir?” sopir taksi itu bertanya padaku dalam bahasa Inggris terbalut aksen Belanda.

Kuperiksa kembali nama hotel yang dicatat dalam ponsel. Tempat di mana pameran Aries Art juga akan dibuka pertama kali. “De Vallende Ster Hotel. You know that?”

“Ah, yes, I do.”

Kami berkendara dikawani lantunan lagu berbahasa Belanda yang tak kumengerti. Namun sepanjang perjalanan, rasa letihku sedikit luruh tatkala kubuang pandangan ke luar jendela dan mendapati pemandangan syahdu malam menyelimuti Amsterdam. Lampu-lampu hangat berpendar di setiap bangunan yang kulewati, terbiaskan di permukaan kanal yang berkelok-kelok.

“Asian?” sopir taksi itu kembali bersuara, menatapku dengan sepasang mata birunya lewat kaca spion.

“Indonesia,” jawabku mantap. Sebentar kemudian, aku menambahkan, “It’s my first time being in here.”

“Ah, welcome aboard, then.”

Nuansa malam di Amsterdam amat berbeda dengan Jakarta atau Bandung. Kemegahan kota ini tak mencuatkan nuansa ingar-bingar khas kebanyakan metropolis. Sebaliknya, pendaran lembut cahaya membuatku seperti terisap ke dalam dunia dongeng. Seperti masuk ke dalam salah satu lukisan dan hidup di dalamnya. Tak bisa kubayangkan bagaimana suasana musim dingin di kota ini.

Tak berselang lama, taksi yang kutumpangi menepi ke sebuah bangunan klasik bersorot lampu hangat. Berseberangan langsung dengan aliran kanal yang berkelok malu-malu di ujung pandangan.

“Here we are,” sahut si sopir taksi. Kutinggalkan beberapa lembar uang di telapak tangannya sebelum melangkah keluar. Namun, baru setengah kakiku mencuat melewati ambang pintu, sopir taksi itu kembali berseru, “Wait.” Dari atas dasbor mobil, ia menarik secarik lipatan kertas penuh warna dan menyerahkannya padaku. “Here. Don’t get lost, Sir!”

Setengah bingung, kucoba menjawabnya dalam bahasa Belanda sebisaku. “Bedankt!”

Sambil tersenyum, sopir taksi itu membalas, “Graag gedaan.”

Begitu taksi tadi sudah lenyap dari pandangan, barulah kusadari lipatan kertas itu adalah selembar peta khusus turis.

Sekali lagi, aku memastikan aku berada di tempat yang benar. Kudongakkan kepala dan kontan beradu pandang dengan tulisan De Vallende Ster Hotel yang berpendar ungu menghiasi bagian muka gedung. Deretan jendela yang menghiasi setiap tingkatan lantai memancarkan kehangatan sendiri-sendiri. Tak ada bagian yang tak bercahaya pada bangunan itu.

Belum sempat kupunguti dua koperku yang masih tergeletak di kaki tangga menuju pelataran hotel, seorang pemuda menghampiri tergesa-gesa. “Mag ik u helpen?”

“Uh ....” Aku tak yakin apa yang pemuda itu ujarkan.

Melihat kebingunganku, buru-buru ia mengoreksi. “Oh, pardon me, sir. May I help you?”

“Oh, yeah. I’m with Aries Art.”

“Let me take you to the lobby, then, Mr. ….”

“Just call me Gagas, please.”

Lihat selengkapnya