Selepas mengumpulkan gulungan lukisanku pada AJ, aku melesat kembali ke kamar. Kubuka peta pemberian sopir taksi itu di atas nakas, mempelajari setiap sudut kota yang terpampang di sana. Sepucuk amplop berisi beberapa lembar euro kuletakkan di antara bentangan peta dan selembar strippenkaart pemberian AJ. Hari ini kami dibebaskan untuk jalan-jalan menikmati pesona Amsterdam sebelum pembukaan pameran besok malam.
Belum sempat aku memutuskan akan ke mana, bel pintu kamarku ditekan seseorang. Dari lubang intip, kulihat Hans dan istrinya sudah berdiri rapi di depan pintu. Dari acara makan pagi tadi, kutahu mereka berdua menempati kamar sebelah.
“Hai,” sapaku begitu daun pintu terayun membuka.
“Hey, dude. Wanna join us wandering this goddamn city?”
“Eh, where are you going?” tanyaku. Sejujurnya, aku sendiri sedikit ragu keluyuran sendirian di kota orang. Tak seperti di Bandung, kalau aku nyasar di sini tak akan ada angkot yang bisa kujadikan patokan jalan.
“We’re going to see the iconic I Amsterdam,” Tiana menjawab. Senyumnya yang terbalut gincu merah tampak cerah dilatarbelakangi kulit gelap. “You should come with us.”
“Oke, saya siap-siap dulu kalau begitu.”
Aku belum sempat memindahkan isi koperku ke dalam lemari. Jadi dari dalam sana, kutarik keluar sehelai sweter rajut tipis serta celana jins hitam. Udara sejuk Amsterdam tak akan membuatku berkeringat hari ini.
Kami bertiga menumpang salah satu trem untuk menuju Rijksmuseum, tempat tulisan ikonis I Amsterdam berdiri kokoh dan disemuti gerombolan turis. Kuserahkan lembar strippenkaart-ku pada kondektur untuk distempel, kemudian duduk di kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan kota yang mulai bergerak.
Barang sesaat, hatiku mendadak dirundung pilu bercampur rindu tatkala trem yang kutumpangi merayap mengikuti aliran kanal. Riak air tepercik sinar matahari itu mengingatkanku pada gelanggang. Pada Bagas. Pada Vega dan Billy. Pada Sarah. Membayangkan bentangan jarak antara aku dengan mereka justru membuat sesak itu kian menggumpali rongga dada.
Hans harus menegurku dari lamunan begitu kami tiba di stasiun tujuan.
Sesuai dugaan kami, pada musim turis seperti ini, bagian depan gedung museum riuh dikunjungi turis mancanegara. Beberapa wajah Asia bisa langsung kukenali dalam sekali pandang. Ada beberapa orang Melayu yang kemungkinan masih serumpun denganku.
Salah satu primadona di tempat ini adalah tulisan merah-putih I Amsterdam yang saat ini tengah dijadikan tempat foto satu keluarga dari India. Tak jauh dari sana, segerombol gadis-gadis Jepang tengah menunggu giliran. Setelah mereka, masih ada sepasang lansia—yang sepertinya penduduk lokal—sudah mengincar tempat itu seperti burung nasar. Dan yang lebih menjengkelkan, Tiana tak mau ke mana-mana sebelum bisa berpose di sana.
Sambil menunggu giliran, kami menghampiri kedai makanan di dekat museum dan membeli tiga porsi patatje oorlog—kentang goreng bersaus mayones—kemudian melahapnya sembari duduk di sebuah bangku taman.