Dalam perjalanan di atas trem berikutnya, aku kembali duduk dekat jendela seraya menyumpali kedua lubang kuping menggunakan karet earphone. Kini ponsel itu tak hanya berguna sebagai penunjuk waktu saja, namun juga jadi perantara ABBA untuk melantunkan lagu-lagu favoritku tepat ke gendang telinga.
Kupalingkan muka ke luar jendela. Sekali lagi mengagumi keelokan Amsterdam yang perlahan bergulir mundur tatkala aku bergerak maju. Barang sesaat, ingin rasanya kuceburkan diri ke salah satu kanal itu, lenyap ke bawah riak airnya yang tersiram matahari. Dan kembali, hati ini dirundung pilu tatkala menyadari bahwa keindahan di luar sana tak mampu kubagi dengan siapa pun.
Kamera ponselku menjepret sepetak pemandangan. Agak kabur namun masih jelas kalau dilihat sekilas pandang. Kalau ada waktu, akan kusalin foto barusan ke atas kanvas.
Di satu pemberhentian trem, aku kembali dipertemukan dengan Hans dan istrinya. Wajah mereka yang berkeringat masih tampak antusias tatkala menempati kursi depanku.
“How was Rijksmuseum?” aku membuka pertanyaan.
“It was wonderful!” Tiana menjawab riang. “Dari dulu saya memang suka wisata museum. Kalau jalan-jalan ke luar negeri, pasti wajib menjajal museum-museumnya.”
“We’re going to Tropenmuseum,” Hans menimpali. Kemudian perubahan raut mukanya seperti mengindikasi ia ingat sesuatu. “You should come, Gas! Museum yang satu ini cocok sekali buat kamu.”
“Memangnya itu museum apa?” tanyaku. Namanya yang mirip trompet tak mungkin ada hubungannya dengan benda itu.
Tropenmuseum memiliki bentuk bangunan yang sama dengan seluruh gedung di Amsterdam. Warnanya yang cokelat bata, ditambah pucuk atapnya yang berbentuk serupa piramida, membuat bangunan itu lebih cocok dijadikan istana ketimbang tempat memajang barang-barang lama.
Lama aku berdiri di depan gedung itu, khawatir insiden di Anne Frank House akan terulang sebentar lagi. Namun melihat pengunjug yang sepertinya tak terlampau banyak, kuputuskan untuk melangkah masuk.
Tropenmuseum adalah rumah bagi barang-barang bersejarah dari negara-negara koloni Belanda dulu. Indonesia jadi salah satunya.
Bagian dalam museum yang megah dan luas sekejap mengingatkanku pada bentukan Lawang Sewu. Tak henti-henti kudongakkan kepala, menyapukan pandang ke sekujur langit-langit tinggi. Tempat ini betulan lebih cocok dijadikan istana.
Hal pertama yang kusadari dari museum ini adalah patung. Ada banyak sekali patung-patung dipajang. Dari mulai patung ikan, patung manusia mirip betulan, hingga patung-patung kayu yang menjulang raksasa dan tampak mengerikan tatkala dipandang lamat-lamat. Di satu tempat kudapati patung batu Ganesha yang tengah duduk bersimpuh.