Normalnya, tidur selalu jadi senjata pamungkasku untuk meredam perasaan tak enak hati yang bercokol bandel seperti hama tanaman. Namun begitu aku bangun pagi ini, gumpalan kemarin masih hadir di tempat sama, menimbulkan sensasi malas beranjak kendati bel pintu sudah kudengar berbunyi tiga kali.
Hari ini kami dijadwalkan untuk ikut AJ ke De Bijenkorf, salah satu pusat perbelanjaan indoor di Amsterdam. Ms. Bauwens ingin para pemenang kompetisi tampil seelegan mungkin dalam pembukaan pameran nanti malam. Tanpa ada yang kasih tahu, aku punya firasat bahwa nanti malam kami akan masuk televisi nasional.
“Are you always wearing a t-shirt everywhere?” AJ mengomentari penampilanku saat kami duduk melingkar di meja sarapan. Kali ini Ms. Bauwens tak ikut serta. Dan kami tidak sarapan di ruang VIP.
“Why not?” aku balas bertanya. Namun tampaknya tak seorang pun terhibur dengan jawaban barusan. Setelah berdeham, kusambung jawabanku tadi, “I always have some problems with fashion.”
“No wonder,” Lee Junsu terkekeh pelan di samping pacarnya. Ia sendiri tampak sudah rapi dalam busana sweter putih yang dibalut mantel cokelat panjang. Persis seperti aktor drama Korea yang pernah kutonton sekali di tempat Mas Wira dulu.
“Tapi kamu nggak bisa hadir di pameran pakai kaus oblong begitu, Gagas!” AJ kembali protes. Beberapa helai rambut birunya mencuat lepas dari balik simpul pita metalik. “But don’t worry, you won’t be recognized once we’re back later.”
Menggunakan tiga taksi, kami meninggalkan hotel dan melaju membelah suasana pagi yang menyelimuti Amsterdam.
Aku duduk di kursi penumpang bersama AJ yang sedari tadi sibuk mendadaskan jempolnya di atas tombol-tombo PSP yang ia bawa. Setelah cukup lama keheningan dibiarkan hadir, aku berdeham dan bertanya, “Kamu sudah lama kerja sama Ms. Bauwens?”
AJ tak langsung menjawab. Ia baru menyahutiku begitu karakter game dalam PSP-nya digigit zombie sampai mati. “Lumayanlah. Tiga tahunan. Kamu sudah lama melukis?”
“Lumayanlah,” kukembalikan jawaban itu. “Kamu sepertinya bukan asli Belanda, ya? Your accent sounds different.”
“Tentu saja!” sahut AJ sembari menyelipkan PSP kembali ke dalam saku tas selempangnya. “Menurut kamu, orang Belanda mana yang kasih nama anak mereka AJ? I’m American.”
“Let me guess. New York?”
“Do I look like a modern-girl-from-a-big-city?” tantang AJ. “Nggak. Saya dari Maine.”
“Really?”
“What? I’m not fishy enough for you?”
Aku tergelak dan tidak berkata apa-apa lagi.
Taksi menepi ke sebuah bangunan yang lagi-lagi lebih cocok dijadikan istana ketimbang pusat perbelanjaan. Desain eksteriornya yang klasik dan elok, tak bisa kubandingkan dengan mal mana pun di Indonesia. Namun begitu kami melangkah masuk, nuansa klasik di luar tadi seketika luruh, digantikan pemandangan modern sebagaimana pusat perbelanjaan pada umumnya.
Hans, Tiana, Lee Junsu, dan Park Yu-ri berjalan memimpin rombongan, menggandeng tangan masing-masing pasangan. Sementara aku dan AJ membuntuti empat orang itu satu meter di belakang.