Langkahku tertunda di muka lift. Kedua kaki ini terpasak tepat di titik aku berdiri. Barang sesaat, kukejap-kejapkan mata, berusaha mengusir fenomena fatamorgana yang terjadi bukan pada tempatnya. Namun, sampai aku mirip orang cacingan pun sosok itu tak kunjung enyah. Kuberanikan diri berjalan mendekat.
Perempuan pirang di meja resepsionis menoleh menyadari kehadiranku. Tak berselang lama, sosok itu pun ikut menoleh. Semakin yakinlah aku kalau yang sedang terjadi saat ini bukan sekadar tipuan optik belaka.
“Gagas?” Seulas senyum menyembul hangat di wajah Sarah.
Lidahku kelu bukan main. Kubiarkan Sarah berjalan menghampiri, menarikku ke dalam dekap tak berbalas. Bahkan begitu kami saling berhadapan, aku masih tak berhasil menyusun kata-kata.
“Aku kangen.” Kalimat itu meluncur ringan seperti tak berbeban. Namun begitu menyelinap masuk ke dalam lubang telingaku, intonasinya terdengar begitu sarat akan sesuatu. “Kamu apa kabar?”
“Aku ... baik.” Diam-diam kulirik perempuan resepsionis itu yang sekarang sudah sibuk lagi dengan gagang telepon. “Kamu apa kabar?”
“Perjalanan panjang tadi bikin aku mau mati,” keluh Sarah. “Rasanya kepengin langsung molor saja.”
“Sebentar, ya. Aku harus telepon dulu seseorang.” Buru-buru aku berjalan menghampiri meja resepsionis. Beruntung gagang telepon itu sudah kembali diletakkan pada tempatnya. “Bisa tolong kabari AJ supaya turun ke sini? Kamar nomor 615.”
Tak sampai lima menit, AJ muncul, sudah terbalut dalam gaun malamnya yang jatuh tepat di mata kaki. Rambut birunya yang terang kini digulung membentuk sanggul memuncaki kepala. “Ada masalah?” AJ buru-buru menanyaiku.
“Ada tamu.” Kulirik Sarah yang melambai canggung pada AJ. “She’s my plus one.”
“Well, hello, then,” sapa AJ ramah sembari mengulurkan. “Saya AJ, penanggung jawab acara.”
“Sarah, temannya Gagas.” Sarah menyambut canggung uluran tangan itu.
“Just a friend?” AJ melirikku jahil.
“Acaranya sebentar lagi dimulai, kan?” Buru-buru kuputar topik ke arah yang akan membuat AJ panik. “Sarah harus siap-siap kalau mau ikut.”
“Right! We have an emergency fashion issue here!”
Tak berselang lama, kemeja flanel dan celana jins Sarah sudah ditanggalkan, digantikan balutan gaun hijau metalik dengan potongan bahu rendah. Rambutnya yang biasa dikepang atau dikucir kuda, kini tergerai lembut dalam nuansa ikal. Jepit perak berkilau disisipkan agak menyamping kepala supaya helaiannya tak menjuntai menutupi muka. Buru-buru kuseka dahiku yang mulai menunjukkan gejala keringat.
“Memangnya nggak bisa pakai kemeja saja?” Sarah merengek padaku. “Ini bukan aku banget!”
“Ini juga bukan aku banget.” Kuisyaratkan kedua lengan ke sekujur badan. “Cuma buat malam ini, oke?”