Pagi ini kudapati punggungku sakit lantaran semalaman meringkuk di atas sofa. Jadi begitu sinar matahari menerobos dari celah tirai jendela, kubiarkan tubuhku telentang cukup lama, meratapi langit-langit sewarna gading yang membentang di atas sana.
Sebelumnya tak kusadari bahwa akomodasi yang disediakan pihak Aries Art amat terbatas untuk setiap pemenang lomba. Itu artinya, si seniman dan plus one-nya perlu berbagi kamar tidur. Barangkali bagi Hans dan Lee Junsu, hal itu bukan perkara genting. Namun bagiku dan Sarah, jelas pengaturan tersebut tak nyaman untuk diterapkan.
“Selamat pagi,” Sarah menyapa dari atas tempat tidur. Rambutnya yang tergerai basah mengindikasi bahwa ia baru saja keluar dari kamar mandi.
“Jam berapa ini?” tanyaku sembari mengucek sebelah mata.
“Setengah jam lagi kita harus turun buat sarapan.” Sarah beranjak dari tempat tidur, menyambar sehelai kemeja yang disampirkan di atas meja nakas. “Kamu mau aku keluar dulu supaya bisa siap-siap?”
“Please,” gumamku malu-malu.
Begitu privasi kembali kudapatkan, kusambar kotak alat kebersihanku dan bergegas menyeka diri di kamar mandi.
Sarah sudah duluan duduk di meja makan bersama yang lain, menyisakan satu kursi kosong untukku di sebelahnya. Sejak sarapan waktu itu, Ms. Bauwens tak pernah bergabung bersama kami lagi.
“So is this the Sarah you’ve been talking about?” Hans menyikuku seraya melempar pandangan sarata makna.
“What are you talking about?” tukasku. Jelas Hans tak akan berhenti menggodaku begitu saja.
“Gagas cerita apa saja tentang saya?” Sarah ikut nimbrung dan membuatku rasanya ingin mati saja.
“Not much,” balas Hans. “He said you’re the woman in the picture.”
“Kudengar lukisanmu terjual semalam, Hans?” tanyaku, buru-buru mengalihkan topik pembicaraan.
“Oh, ya. Seorang kolektor seni asal Portugal jatuh cinta sama lukisanku,” jawab Hans antusias. Kini wajah Lee Junsu yang sedari tadi dirundung awan mendung punya alasan. Di sampingnya, Park Yu-ri kurang-lebih memasang ekspresi yang sama.
“Yang lainnya nggak perlu cemas, ya,” AJ mengingatkan. “Masih banyak kesempatan terbuka juga buat kalian.”
“Are you always a boy with milk?” sahut Lee Junsu tiba-tiba tatkala kuraih gelas susuku.
“Have a problem with that?” Sarah menantang, membuat cengiran lebar terentang di wajah lelaki Korea itu.
“Slow down, girl. I will never want to mess up with your bunny-boyfriend.”
Serahkan pada Lee Junsu untuk memuntir untaian kata apa pun menjadi luar biasa menyinggung.
“What do you do, Sarah?” dari sebelah Hans, Tiana menjulurkan badannya supaya bisa melihat lawan bicara.
“I use to work with dolphins,” sahut Sarah. Bisa kubilang ada banyak kebanggaan menyertai setiap penggal katanya. Sebentar kemudian, ia melirikku. “Gagas pernah jadi staf magang di tempatku kerja.”
“Painting doesn’t pay the bills, huh?” Lee Junsu tergelak dari seberang meja. “Di Korea, lukisan yang saya buat selalu ludes diborong turis.