ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #31

Episode 31 - Bienvenue À Paris

Lima hari pameran di Amsterdam ditutup elegan oleh Ms. Bauwens pada hari Sabtu malam. Bersamaan dengan itu, berakhir pulalah hari-hari kami menyusuri ragam tempat wisata di kota ini.

Banyak lukisan terjual selama rentang waktu tersebut. Namun di antara kami bertiga, hanya lukisan Hans yang berhasil diangkut kolektor. Aku pribadi sama sekali tak ada masalah dengan hal itu. Namun Lee Junsu dan pacarnya seperti orang kebakaran janggut. Suasana hatinya selalu dilanda mendung. Hal tersebut berimbas pada orang-orang dalam jangkauan mereka.

Selepas sarapan terakhir di De Vallende Ster Hotel, kami berangkat ke Stasiun Bandara Schiphol untuk menumpang kereta cepat menuju Paris.

Selama tiga jam perjalanan rel, aku duduk melamun sembari menikmati sajian pemandangan yang dengan sukarela ditawarkan alam. Kota demi kota Eropa sebentar-sebentar tertangkap oleh mata. Julangan gedung-gedung tinggi Rotterdam yang amat berbeda dengan Amsterdam. Bangunan-bangunan klasik di Antwerp. Secercah negeri dongeng Kota Brussel. Hingga akhirnya kereta parkir dengan mulus di Stasiun Paris Gare Du Nord yang ramai.

“Bienvenue à Paris!” AJ bergumam antusias begitu kami turun dari kereta. Tubuhnya berbalik menghadap kami dengan kedua lengan terentang lebar seperti hendak menawarkan dekap. “Ladies and gentlemen, welcome to the City of Love!”

AJ memanggil tiga taksi yang beriringan membawa kami ke hotel. Namun begitu kutemukan kesempatan bicara berdua saja dengan perempuan itu, buru-buru aku menyambarnya.

“Bisa bicara sebentar?” tanyaku.

Kedua alis AJ—yang kini kusadari memiliki nuansa corak biru juga—terangkat bingung. “Something’s wrong?”

“Kinda.” Kugaruk titik di belakang leher yang sama sekali tak gatal. “Bisa nggak kalau kamar saya dan Sarah … dipisah?”

“Of course it cannot be!” jawab AJ defensif. Seakan aku baru saja menanyakan padanya cara terbaik menikmati bubur ayam: diaduk atau tidak. “Sudah jadi peraturan perusahaan. Saya nggak mau kena marah Ms. Bauwens.”

Aku menghela napas. Ms. Bauwens yang kemunculannya hanya di prolog dan epilog itu tampaknya memegang andil besar dalam setiap keputusan si rambut biru.

Sarah sudah membongkar muatan kopernya dan menatanya di dalam lemari pakaian. Ia sudah mau lanjut membuka koperku ketika aku melangkah masuk.

“Mau ngapain?” tanyaku heran.

“Sekalian beresin punya kamu.”

Kulirik pintu lemari pakaian yang masih melongo. Mengamati tumpukan baju yang seperti ditata apa adanya. Sambil tertawa, kugelengkan kepala. “Aku perfeksionis. Nggak bisa lihat barang-barangku ditata macam mau diangkut ke tempat laundry.”

Lihat selengkapnya