Usai sarapan, Hans menarik sikuku sebelum aku sempat menekan tombol lift.
“Ada rencana apa hari ini?” tanyanya berbisik.
Kukerutkan kening memandangnya curiga. “Tadinya cuma mau keliling-keliling saja. Kenapa?”
Masih dengan frekuensi suara mendekati bisikan Hans mencurahkan isi kepalanya padaku. Ia ingin memberikan sesuatu pada Tiana sebagai bentuk terima kasih karena sudah menjadi inspirasinya dalam melukis. Sekaligus merayakan lukisannya terjual dengan harga yang lumayan tinggi. Namun masalahnya, ia tidak mau Tiana tahu. Hans ingin ini jadi kejutan istimewa.
“You’ll help me, won’t you?” Hans bertanya penuh harap.
“Kalau Tiana tanya kita mau ke mana, gimana?”
“I’ll tell her to go with Sarah finding new dresses for tonight,” sahut Hans. “Kita tunggu mereka pergi, habis itu kita juga pergi. Sounds like a plan?”
“Oke. Nanti saya bilang ke Sarah,” jawabku enteng.
Namun kenyataannya, menyuruh Sarah pergi belanja tak seenteng pemikiranku. Diam-diam ia punya rencana untuk menyogok AJ supaya diizinkan pakai kemeja dan celana panjang alih-alih gaun seperti waktu itu.
“Ayo, dong. Demi Hans ini,” bujukku. Ragu-ragu, aku menambahkan, “Kamu kelihatan cantik, kok, pakai gaun begitu.”
Samar namun pasti, kulihat kedua bilah pipi Sarah bersemu merah.
“Oke, ya?” aku meyakinkan.
“Kalau kita nyasar bagaimana?” tanya Sarah.
Kutepuk tonjolan di saku celanaku dan bernyanyi, “I’m only one call away.”
Setelah beberapa perdebatan yang sepertinya tak terlalu penting juga kalau diceritakan, Sarah akhirnya setuju. Kendati raut wajahnya masih kelihatan cemberut jika dibandingkan dengan antusiasme Tiana. Apalagi kalau dibandingkan dengan wajah Hans.
Dengan menumpang taksi, kami melaju membelah jalanan Kota Paris yang padat kendaraan. Kalau Amsterdam begitu menguarkan nuansa klasik, Paris justru mengingatkanku pada nuansa gotik setelah melihat patung-patung gargoyle menenggeri sudut-sudut Notre Dame yang kami lewati.
Aku dan Hans sepakat untuk menghindari Champs-Elysées karena tahu ke tempat itulah Sarah dan Tiana kemungkinan besar menuju. Namun kami juga tidak tahu tempat belanja lain yang bisa didatangi. Akhirnya, mengikuti usulan sopir taksi—yang sepertinya sudah terganggu sejak kami masuk tadi—aku dan Hans memutuskan untuk pergi ke Le Marais.
Bermodalkan bahasa Prancis aku dan Hans yang pas-pasan, kami menguping sana-sini dan tergenapilah informasi kasar tentang kawasan Paris bernama Le Marais. Tidak seperti sudut Kota Paris lainnya, Le Marais terlihat lebih kental dan berhubungan erat dengan kesejarahan kota ini. Bangunan-bangunan berarsitektur kuno seperti yang sering kulihat dalam film-film tentang abad 18, mencuat gagah di sepanjang tepian jalan. Beralih fungsi menjadi tempat belanja atau tempat makan. Mau tak mau kembali aku teringat Jalan Braga yang nuansa sejarahnya masih begitu apik terpelihara.