Pagi itu aku kaget karena terbangun di atas tempat tidur, masih berpakaian lengkap seperti semalam. Buru-buru aku menoleh ke sana kemari, mencari Sarah. Namun yang bersangkutan tidak tampak batang hidungnya sama sekali.
Aku bangkit duduk dengan kepala terasa luar biasa pening. Pameran malam pertama berlangsung lebih lama dari yang kuduga. Ada lelang lukisan. Dan kalau tidak salah, lukisanku jadi salah satu yang diangkut pergi.
Aku melepas kemejaku dalam beberapa kali sentakan. Terpaan AC sejuk terasa menyenangkan tatkala menyapu pori-pori kulit. Baru saja aku hendak mengambil peralatan mandiku ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka.
“Eh, sori. Aku nggak tahu kamu sudah bangun.” Dengan sigap Sarah berbalik punggung.
Aku tak jadi mengambil peralatan mandi. Sebagai gantinya, kusambar kaus dari tumpukan pakaian paling atas dan cepat-cepat mengenakannya. “Nggak apa-apa. Kamu dari mana?”
Ragu-ragu, Sarah kembali memutar badan. Tampak lega begitu melihatku sudah berpakaian. “Tadi AJ telepon, suruh ke lobi sebentar. Karena kamu masih tidur, jadi aku yang ke sana.”
“Aku kelewat sarapan?”
“Nggak,” sahut Sarah. “Tadi AJ cuma bilang kalau malam ini kita dinner cruise di atas Sungai Seine.”
“Sungai Seine?” Dua penggal kata itu sontak menohokku tanpa ba-bi-bu.
Melihat reaksiku yang tidak santai, Sarah buru-buru menyahut, “Kalau kamu nggak mau, nanti aku bilang ke AJ. Nggak usah dipaksakan, Gas.”
“Nggak,” sahutku tegas. “Nggak apa-apa. Kita dinner cruise malam ini.”
“Kamu yakin?”
Khawatir suaraku mengandung keraguan, jadi kuanggukkan kepala semantap yang kubisa.
Sepanjang hari itu aku malas ke mana-mana. Rencana mengunjungi Museum Louvre pun terpaksa kucoret dari daftar agenda. Sepulang ke Indonesia nanti, aku harus siap menghadapi kekecewaan Mas Wira karena sudah jauh-jauh ke Paris tapi belum sempat melihat Mona Lisa.
Sebetulnya, ada dua hal yang mengganjal sudut pikirku hingga membuatku enggan untuk melakukan apa pun. Pertama, obrolan bersama Hans kemarin yang tak disangka-sangka, rupanya berpengaruh cukup jauh pada sudut pandangku. Betulkah apa yang ia katakan? Kenapa pula Hans bisa lebih tahu perkara perasanku ketimbang aku sendiri? Tapi bukankah orang luar lebih jeli kalau sudah menilai orang lain? Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di ujung lautan tampak.
Kedua, jelas aku mengkhawatirkan malam ini. Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, aku akan berada sedekat itu dengan musuh bebuyutanku. Satu langkah ceroboh, maka lenyaplah aku dari peredaran.
Untuk makan siang, aku menolak bergabung bersama yang lainnya. Sarah pun dengan terpaksa ikut makan siang di kamar lewat room service. Kembali ia meratap curiga padaku yang sedari pagi sudah dilanda awan mendung.
“Kamu betulan nggak apa-apa kita naik kapal?” Sarah kembali menanyakan hal serupa. “Kalau nggak mau, aku langsung kasih tahu AJ sekarang. Serius. Ini bukan studi tur. Kita nggak wajib ikutin semua agenda mereka, kok.”
“Aku sudah bilang mau ikut,” sahutku berkukuh. Kuhela napas panjang sebelum melanjutkan bicara, “Kalau kamu mau jalan-jalan, aku nggak apa-apa di sini sendiri. Sudah gede, nggak perlu babysitter lagi.”
Selepas makan siang, Sarah mengikuti saranku dan pergi melancong bersama Hans serta Tiana.
Sambil merebahkan diri di atas tempat tidur, aku mulai memeriksa isi galeri foto ponselku. Rupanya sudah lumayan banyak foto yang kuambil sejak menjejakkan kaki di Amsterdam. Namun belum punya kesempatan untuk menuangkannya ke dalam kanvas. Koper berisi alat-alat lukisku pun belum disentuh lagi sejak mengeluarkan lukisan Desires dari sana.