Perkara hidup dan mati sejatinya hanyalah terjeda seutas batas tipis. Manakala satu anomali terjadi pada batas tersebut, maka bertandanglah maut tanpa perlu permisi lebih dulu. Satu-satunya yang mampu menghalau hanyalah secarik keajaiban.
Dari berbagai referensi, aku pernah membaca ada segelintir manusia mujur yang berhasil bernegosiasi dengan kematian. Tanpa syarat, maut mengembalikan mereka ke dalam skema kehidupan, untuk menjalani kehidupan kedua. Terkadang kisah-kisah semacam itu menggugah rasa penasaranku. Membuatku tertarik. Namun, tak pernah terbayang aku akan menjadi salah satu pelakunya.
Hidup keduaku jelas berbeda dibandingkan dengan yang pertama. Jelas, semua orang kontan akan berubah tatkala diberi kesempatan langka untuk sekadar mencicipi getirnya sakratulmaut. Entah berapa Del rasa sakit yang mereka rasakan manakala hal tersebut terjadi. Begitu kututurkan pengalaman pribadiku dalam ruang diskusi daring, tak satu pun dari mereka yang tidak menyimak. Bergeserlah statusku dari si Anomali, menjadi si Botak Beruntung. Oh, ya, aku lupa memberitahu. Seluruh rambutku sekarang sudah dipangkas habis.
Ada harga yang perlu ditebus atas kembalinya aku ke dunia ini. Harga yang tak bisa dibayarkan orang lain, apalagi patungan. Harga tersebut hanya bisa kubayar sendiri.
Pertama, aquagenic urticaria-ku kian membandel sejak malam itu. Sedikit air saja maka aku akan langsung disapa anafilaksis. Kembali berjudi dengan maut. Oleh karena itu, supaya lebih mudah menghalau hadirnya keringat, dr. Ferdi menyarankan untuk menggunduliku hingga yang tersisa hanyalah lapisan kulit kepala.
Kedua, ada yang tidak beres dengan paru-paruku berkat insiden tersebut. Banyaknya air yang masuk menyebabkan terjadinya peradangan akut pada saluran pernapasanku, mempersulit paru-paru untuk menghimpun oksigen. Operasi dikhawatirkan akan memperburuk keadaan. Sebagai jalan alternatif, aku perlu mengenakan slang nasal sebagai alat bantu pernapasan. Persis seperti Hazel Grace Lancaster dalam buku The Fault in Our Stars.
Kamis malam itu kuceritakan kisahku—yang entah dilihat dari sudut mana, dinilai heroik—pada seluruh penghuni ruang diskusi. Tak seorang pun berani menyela. Semuanya diam, menyimak, penuh hasrat ingin tahu. Tanpa bubuhan tanda tangan di atas meterai 6000, mereka menjadikanku simbol inspirasi untuk tetap berjuang menjalani kesukaran hidup. Kubiarkan saja selama tidak ada yang menagih uang pungutan.
Namun di luar ruang diskusi tersebut, aku kembali menjadi bukan siapa-siapa. Kini duniaku kian menyusut hingga hanya sebatas kamar tidur. Sekali lagi, aku menjadi si Katak dalam peribahasa. Melukis menjadi salah satu dari seabrek aktivitas yang dipantang. Terkadang, aku yakin rasa bosan bakal membunuhku lebih cepat dari yang bisa dilakukan si alergi.
Pada satu akhir pekan, notifikasi panggilan video menyembul dari bagian atas layar ponselku. Nama Mas Wira terbaca di sana. Tanpa sedikit keraguan pun, kutekan tombol JAWAB. Meluncurlah tiga panel video memenuhi sekujur layar. Wajahku memenuhi bagian bawah, sementara Mas Wira dan Sarah masing-masing mendiami layar di atasku.
Sebetulnya, ada ragam topik yang perlu dibahas dengan mereka berdua. Namun alih-alih mendiskusikan topik berguna, aku justru menangkap percakapan bertajuk basa-basi yang terlontar satu sama lain. Sejuta cara remeh kompak mereka pakai untuk menghiburku seumpama tengah menghibur orang yang bakal mati besok sore kalau tidak macet. Namun di tengah pembahasan seputar ular naga, kulihat Sarah mulai tersengguk-sengguk dan tak lama kemudian panel videonya lenyap tak berbekas. Mas Wira menyusul selang semenit berikutnya.
Aku berbaring dan menatap nanar langit-langit yang kini terasa lebih luas sekaligus lengang. Sudah nyaris satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Hans dan AJ rutin mengabari perkembangan dunia luar sana. Rupanya Lee Junsu sudah divonis bersalah dan kini tengah mendekam di sel tahanan. Karir melukisnya berantakan. Namun yang paling parah, kudengar Park Yu-ri sekarang sudah bertunangan dengan seorang pria asal Kanada. Betul-betul ironis.
Satu-satunya orang luar yang masih boleh kutemui hanyalah dr. Ferdi. Dengan sabar ia menghadapi sifat keras kepalaku tatkala disodori sedosis obat. Entah kenapa berada sedekat ini dengan kematian membuatku lebih sensitif ketimbang sistem imunku sendiri. Aku jadi lekas marah dan tersinggung pada hal-hal sepele. Gawat kalau alergi itu sudah merembet sampai ke kejiwaan.
Pada satu sesi, ketika lagi-lagi kutolak obat dr. Ferdi mentah-mentah, ia merosot di kursinya sembari menghela napas sabar.
“Sebetulnya saya nggak mau bilang sekarang, tapi sepertinya setiap hari kamu makin kepala batu,” katanya pasrah.
“Bilang apa?” tanyaku penuh selidik. Jika ia sampai mengadu macam-macam lagi pada orang tuaku, aku bakal mengancam akan mencemplungkan diri ke dalam tangki air kalau tidak dicarikan dokter baru.