ANOMALI AIR

Mochammad Eko Priambudi
Chapter #36

Episode 36 - Seni Masokhisme

Hari berikutnya menyajikan bentangan langit biru cerah bebas awan. Amat bertolak belakang dengan nuansa hatiku yang dirundung mendung. Kubuka jendela kamar selebar mungkin, menawarkan udara hangat untuk bertamu. Sementara itu, aku duduk bersila di lantai kayu, tepat di bawah titik jatuhnya cahaya.

Kedua kelopak mataku mengatup, membiarkan sinar matahari membakar lapisan kulit itu. Barang sesaat, tubuh ini terasa seperti dibebat selimut tak kasatmata. Namun sebelum diriku dicerna kebodohan, aku bergeser mundur, merelakan AC kembali mengontrol suhu tubuhku.

Tak banyak lukisanku yang masih tertinggal di galeri Mas Wira. Namun kemarin sore, bingkai-bingkai itu diangkut kemari, memenuhi keempat sisi dinding kamarku yang semula polos.

Kupandangi setiap bingkai yang tergantung pada batangan paku. Meresapi setiap sapuan kuas dan pemilihan warna. Lukisan-lukisan itu terasa begitu nyata sekaligus palsu. Persis diriku saat ini.

Aku beranjak dan berdiri cukup lama di hadapan sebuah lukisan dengan nuansa biru mendominasi. Dari sudut mana pun, aku bisa mengenali tempat itu sebaik punggung tanganku sendiri. Undakan tempat duduk penonton, sepotong langit biru yang tertampung dalam lubang bundar di pucuk bangunan, percikan air kolam tatkala dua mamalia laut itu melompat keluar, semuanya entah bagaimana terasa menenangkan sekaligus menyakitkan. Fakta bahwa semuanya akan lenyap dalam satu pekan, membuatku tak sanggup untuk sekadar melepaskan salam perpisahan.

Sejenak aku hanya bisa memejamkan pandangan, berusaha mengosongkan apa pun yang sedari tadi mengganjal. Kureguk udara kuat-kuat lewat slang nasal, lantas kuembuskan perlahan. Tak ada gunanya.

Menjelang siang, kucoba untuk menenangkan pikiran dengan menjelajahi media sosial. Namun coba tebak apa yang kutemukan di sana. Seseorang—atau sekelompok? Entahlah—telah membagikan rekaman videoku yang tengah menceritakan kisah miris di balik bangkitnya diriku dari kematian. Hasilnya, pengikut akun media sosialku nyaris menyaingi pengikut Lord Voldemort.

Bi Diah masuk membawakanku segelas susu dan sepiring nasi goreng untuk makan siang. Aku tak lagi diizinkan minum soda untuk menghindari komplikasi tambahan. Mulai saat ini, minumanku hanya susu. Tak boleh terlalu panas hingga mengepulkan uap air, tak boleh dingin hingga menimbulkan embun. Tinggal tunggu waktu sampai tubuhku tiba-tiba menjulang tiga meter.

AJ, Hans, dan Tiana sudah cukup rutin menghubungiku secara berkala. Entah itu menanyakan kabar, atau sekadar memastikan aku masih cukup kuat untuk bicara pada mereka. Namun menjelang sore, sebaris nomor tak dikenal menyusup masuk ke balik layar ponselku. Begitu kuangkat, sebuah suara teduh mengalun dari sana.

“Ms. Bauwens?” aku bertanya ragu. Siapa tahu suara barusan milik operator telepon.

“Halo, Mr. Mandala.” Memang betul Ms. Bauwens. “Bagaimana keadaanmu?”

Ini pertama kali aku mendengar suaranya lagi sejak malam pembukaan pameran di Paris. “I’m doing okay.” Satu jeda kuisi dengan deham. “Anda bagaimana?”

Aku nyaris bisa mendengar ia tersenyum di ujung sambungan. “I’m good, Mr. Mandala. Tapi maaf saya baru bisa menelepon hari ini.”

“No problem,” sahutku. Sejujurnya, aku sendiri pun sama sekali tak mengharapkan Ms. Bauwens menghubungi. Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang tidak mengharapkan apa-apa. “Saya sudah sedikit lebih baik.”

Lihat selengkapnya