Semakin lama aku berdiam diri, semakin cepat pula waktu menyeretku tak kenal ampun. Senja demi senja yang kusaksikan dari birai jendela, telah menggulirkanku menuju satu hari yang sama sekali tak kunantikan kehadirannya.
Aku duduk cukup lama, memangku buku sketsa yang sudah penuh goresan pensil. Namun kendati pandanganku tampak awas menyelami Kota Paris yang tengah kugambar, pikiranku kabur entah ke mana. Menembus dimensi ruang dan waktu hingga bertengger di tempat yang tak tepat.
Konsep semesta paralel tergambar abstrak di sudut benakku. Seandainya waktu itu pertarunganku dimenangkan oleh pihak musuh, barangkali aku sudah merasakan kebebasan yang selama ini selalu kudamba. Namun alih-alih demikian, semesta masokhisme justru tampak puas menyiksaku seperti ini. Kebebasan tersebut tergantung tepat di depan pangkal hidung. Terlihat namun tak bisa kuraih. Benar-benar licik!
Kini aku duduk bersila menghadap jendela terbuka. Buku sketsa masih kupangku, namun halamannya sudah kubalik. Di atas petak kosong, pensil yang kupegang mulai mencoretkan kata-kata. Entah itu surat, puisi, atau apa. Aku tidak yakin. Tapi, beginilah isi tulisanku:
Sejatinya semua manusia yang hidup tengah berdiri di balik kaca jam pasir masing-masing. Mereka menikmati ketidakkekalan tanpa tahu kapan kenikmatan tersebut akan direnggut. Tak terpikir sedikit pun bahwa perlahan-lahan, tempias pasir di atas sana mulai mengubur seluruh eksistensi di bawahnya. Mereka hanya ingat sesekali tatkala kepala terdongak ke atas. Namun begitu tatapan itu kembali merunduk, seluruh perkara tadi luput dari ingatan.
Aku adalah satu dari segelintir orang yang tak henti-hentinya mendongakkan kepala, mengamati gerimis pasir menyeraki pijakan kaki. Sadar bahwa aku ini tengah dikubur hidup-hidup. Sewaktu-waktu, tanpa surat edaran lebih dulu, bukaan kecil di atas sana akan koyak, membesar, menguburku lebih instan dibandingkan dengan mie kemasan. Manusia bisa lenyap dari skema kehidupan sekejap kedipan mata.
Bagi kalian yang membaca tulisan ini, ingatlah untuk kerap mendongak. Hidup ini sejatinya lebih singkat dari goresan pelangi sehabis hujan. Lebih memabukkan dari botol-botol miras yang biasa dijual di toko jamu. Dan lebih menipu dari SMS minta pulsa. Percayalah, kalian akan menjumpai banyak fatamorgana di tengah padang kehidupan. Dan begitu kalian menghampiri dengan hati riang, selamat, kalian baru saja masuk gua beruang.
***
Sesi terapiku dengan dr. Ferdi hari itu digeser sedikit lebih malam, menunggu orang tuaku pulang. Sejenak aku berpikir barangkali dr. Ferdi sudah lepas tangan pada kasusku. Atau mungkin ia masih tersinggung dengan perkataanku pada pertemuan terakhir kami. Namun begitu semua orang sudah berkumpul seperti yang ia harapkan, sebuah kabar mengejutkan menggelontor keluar dari bibir lelaki itu. “Saya sudah menemukan solusi buat alergi Gagas.”
Genap enam puluh detik berikutnya diisi kekosongan. Tidak seorang pun tahu harus bicara apa. Bahkan Papa kelihatan mati kutu. Namun pada detik ke enam puluh satu, ia mulai angkat suara. “Sudah diujikan sebelumnya?”
Sejenak aku dan dr. Ferdi beradu pandang. Namun kemudian ia berdeham dan menjawab mantap, “Saya sudah melihat reaksinya terhadap subjek percobaan.”
“Dan siapa subjek percobaan itu?” tanya Papa.