Air tawar sejuk mengaliri kerongkonganku untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun. Kendati tak berasa, namun rasa ini selalu kudamba nyaris setiap helaan napas. Untuk pertama kalinya lagi aku bisa mengulurkan kedua tangan di bawah aliran air keran, menampung genangan kecil itu sebelum membasuhkannya ke sekujur muka.
Aku berdiri di halaman belakang, membiarkan gerimis menyapu wajahku sepintas-sepintas. Kudongakkan kepala sembari menutup kelopak mata. Kutantang langit di atas sana untuk mengguyurkan lebih banyak air. Namun seakan enggan menanggapi orang gila di bawah sana, awan mendung perlahan menyingkir, memberikan tanggung jawab langit kembali pada sang matahari. Sebelum aku sempat menyuarakan protesku ke atas sana, Bi Diah datang tergopoh-gopoh, memberitahu kalau tamuku sudah datang.
Mobil pick-up itu parkir di depan pagar rumah. Warna putihnya yang bersinar di bawah benderang matahari siang, mengindikasikan kalau benda tua itu baru saja dicat ulang. Aku bergegas berlari menyeberangi pekarangan dan langsung bertubrukan dengan dua sosok yang baru melangkahi ambang pagar. Kami melekat erat dalam satu dekap panjang dan hangat. Slang nasal yang masih harus kupakai sampai pengobatan lanjutan, membelit kami bertiga.
Begitu acara pelukan selesai, wajah kedua kawanku itu bisa kulihat dengan jelas. Sarah tampak bahagia. Genangan berkilau menanti tumpah di pelupuk mata. Mas Wira pun kurang-lebih dalam keadaan serupa. Namun sebelum ada yang meledak ke dalam tangis, buru-buru kuajak mereka ke dalam rumah.
Satu set meja makan sudah komplet ditata sedemikian rupa. Sebuah tampah besar parkir di tengah meja dengan bagian atasnya dialasi beberapa lembar daun pisang. Dari sana, gundukan nasi kuning tampak mengerucut seperti topi di acara ulang tahun Bagas waktu itu. Irisan bunga tomat bertengger cantik di pucuk tumpeng.
Di kaki gunungan nasi, terserak ragam lauk dan sayuran yang sebelumnya tak pernah boleh kucoba. Iseng tanganku terulur ke depan, mencomot seiris mentimun dan langsung mengunyahnya tanpa pikir panjang.
Orang tuaku sengaja pulang jauh lebih awal dari biasanya. Raut penat di wajah mereka seketika lenyap tak berbekas begitu bergabung dalam perayaan kecil kami. Semua orang duduk mengitari meja makan, termasuk Bi Diah dan dr. Ferdi yang tiba sedikit terlambat. Rasanya sudah lama sekali sejak aku sebahagia ini.
***
Selepas kekenyangan, aku dan Sarah berbaring telentang di atas hamparan rumput di pekarangan belakang. Sayup-sayup kudengar suara Mas Wira dan dr. Ferdi bercakap-cakap di beranda. Namun dari sini, aku hanya bisa merasakan kehadiran Sarah di sebelah. Bersama-sama kami meratap gumpalan awan kelabu yang mulai kembali menghiasi pesona angkasa.
“Bagaimana rasanya bisa mandi lagi setelah bertahun-tahun ternak daki?” Sarah bertanya.
“Segar,” jawabku pendek. Masih ada satu perkara yang mengganggu sudut pikirku. “Kamu jadi berangkat besok?”
Sarah tak serta-merta langsung menjawab. Dibiarkannya pertanyaanku itu mengapung bersama arakan awan. Kemudian setelah aku berdeham tanda tak sabar, ia menjawab, “Mereka butuh aku.”
“Memangnya nggak bisa cari karyawan baru?” tanyaku agak ketus.
“Bisa,” sahut Sarah. “Tapi Billy dan Vega yang nggak bisa.”
“Sesayang itu kamu sama mereka?”
Setitik gerimis mengecup dahiku. Tepat di atas alis kiri. Kupejamkan mata dan bersiap menerima guyuran hujan. Namun tak ada lagi air yang menetes.
“Iya,” Sarah menjawab pendek.
Tetes kedua datang mengecup bibirku. “Andai aku bisa ikut kamu pergi.”