Anomali Kesialan

Sangkar Aksara
Chapter #1

01 - Bola Basket

Siapa yang gila? Aku atau alarm ponselku yang berbunyi kencang di tengah subuh jam 3? Aku sedari dulu memanglah gila, jadi sepertinya aku yang gila bukan ponselku. Kendati diriku memanglah gila, aku bangunkan saja otakku yang masih perlu istirahat beberapa jam lagi. Sungguh aku hanya tidur 4 saja malam ini. Luar biasa, besok mati ngakak karena kekurangan tidur pun rasanya tidak kaget.


Aku gosok mataku agar kembali segar. Alih-alih merasa segar, adanya sakit mata ini. Aku pergi menuju cermin minimalis berbentuk 5x5 yang menempel di sebelah meja belajarku. Terlihat mataku memerah karena gosokan brutal tadi.


Aku menggaruk pipi dan daguku, merasakan bulu-bulu halus yang sudah melebat sejak SMP. Kata Ibu, bulu yang memenuhi wajahku ini adalah gen dari pria tua yang hilang setelah disuruh beli galon 11 tahun yang lalu. Aku biarkan saja melebat, biar kelihatan seperti pelukis-pelukis profesional. Narsis sedikit tidak masalah selama tidak menggangu orang. Paling-paling menggangu penglihatan Ibu dan kakak perempuan ku. Entah tidak bisa dihitung lagi berapa kali kami berdebat soal rambut yang memenuhi wajahku. Ibu bilang biar rapi, kakak bilang biar dia gak saudaraan sama monyet. Memanglah terkutuk Kakak perempuan ku itu, apapun soal aku pasti tidak jauh-jauh dari monyet.


Aku beranjak ke meja belajar. Mendapati sebuah kertas gambar yang penuh daki dari penghapus. Aku meniupnya dan terlihat jelas, sketsa dari pemandangan kota yang aku ambil dapati saat menjelajah hutan tadi sore. Aku membuka ponselku, pergi ke galeri foto, dan melihat hasil pemandangan kota sore hari yang berhasil aku abadikan.


Aku raih pensil yang pendeknya tidak lebih pendek dari kelingking jariku. Mencorat-coret kertas gambar untuk menambahkan beberapa detail agar mirip dengan foto pemandangan kota.


Kendati aku membahas soal pelukis dan gambaran, aku bukanlah pelukis profesional tapi pelukis ulung. Aku jual hasil gambaranku di tengah jalan walaupun bisa dihitung jari yang membelinya. Terkadang aku ikutkan lomba gambar dan selalu menduduki peringkat satu. Uangnya aku beri ke ibu, anggap aja bantu-bantu ekonomi rumah.


Tapi diriku yang dulu, masih bocah ingusan dengan perut sebesar bola basket, malu memperlihatkan hasil tanganku. Kenapa? Karena aku salah melukis. Aku melukis gadis cantik satu sekolah yang saat tersenyum bak malaikat turun dari langit ketujuh. Jika saudara bertanya, "apa salahnya melukis seseorang yang cantik? Toh kalau bagus dia bakal suka. Apa jangan-jangan lukisanmu jelek?", maka saya jawab karena aku gendut dan lukisanku bagus untuk sekelas anak SD.


Hubungannya apa? Jelas ada hubungannya. Bocah gendut, ingusan, jelek, cengeng, tidak punya teman, dan penyendiri, tiba-tiba melukis gadis cantik yang rupawan gila dengan gigi gingsul nya yang imut muncul secara diam-diam tak kala saat tersenyum. Gadis itu menangis kendati mendapatiku melukis dirinya diam-diam. Tangisan perempuan itu berharga, siapapun merasa sakit perut saat melihat perempuan menangis, dan berusaha menjadi konyol agar perempuan bisa berhenti menangis. Karena gadis itu menangis dan penyebabnya adalah lukisan dirinya yang berasal dari tanganku, habislah aku. Pulang sekolah aku diseret ke belakang gedung olahraga dan habis jadi bulan-bulanan anak laki-laki sekelas. Tak sampai disitu, anak perempuan juga menghakimi ku dengan menaruh sampah di kolong mejaku keesokan harinya. Ini semua terjadi karena aku gendut. Coba aku kurus dan ganteng, maka si gadis akan bahagia dan kami hidup bahagia selamanya.


Lalu mulailah rasa trauma akan melukis, aku ketakutan melihat kanvas. Aku bercerita kepada Ibu dan Kakak, mereka ajukan protes dan pengalaman buruk ku selama disekolah. Tapi tidak ditanggapi. Kenapa? Uang berbicara sahabat-sahabat sekalian. Benar-benar kebanyakan oknum di negara ini. Akhirnya Ibu tidak bisa apa-apa, Kakak pun sama. Aku mengurung diri di rumah selama berbulan-bulan, Kakak melihatku jadi trauma ikut pula mengurung di rumah menemaniku. Satu-satunya jalan adalah pindah sekolah. Tidak hanya aku, tapi Kakak juga.


"Pagi banget bangunmu, de."


Di depan pintu kamarku, Kakak dengan wajah tidurnya dan mata setengah tertutup. "Gambar lagi?"


"Pake nanya. Sono gih, balik tidur. Jangan ganggu."


Aku sudah terbiasa bila aku mengatakan untuk tidak menggangguku, dia malah menggangguku. Macam ucapanku selalu dia lakukan sebaliknya, macam Ibu juga sering begitu.


"Heh, belum diwarnai aja udah ketahuan ini bagus banget. Dapat refrensi dari mana?," ujar Kakak.


Walaupun biadab, Kakak sama sekali tidak pernah mengatakan lukisanku jelek. "Bukit di dalam hutan."


"Lah, jadi Tarzan kamu? Pantas Ibu marah-marah baju kamu kotor."


Dia merebahkan badannya di atas kasurku. Menutup matanya dengan posisi tidur tidak wajar. Kaki bersila.

Lihat selengkapnya