Bel kelas berbunyi sebanyak 4 kali. Artinya adalah kebebasan. Sekolah hari ini telah berakhir. Aku membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejaku ke dalam tas. Setelah bersih meja dari tumpukan literasi, aku menunggu orang-orang kelas pada keluar semua. Kenapa? Aku malas beriring keluar kelas. Entah, enggan saja. Tidak ada alasan khusus.
Pandanganku sedari tadi melihat anak-anak kelas yang satu persatu keluar dari kelas. Beberapa menit kemudian, baru kosong. Tidak ada yang keluar lagi dari kelas. Segera aku berdiri, melangkahkan kakiku ke luar dari ruang meja belajar. Dan—Badanku bertabrakan dengan sesuatu. Tidak sampai jatuh, hanya tersenggol sedikit saja. Aku lirik benda apa yang aku tabrak, ternyata masih ada manusia di kelas ini selain aku. Si gadis tambun tadi pagi. Dia kaget karena telah menabrak ku, atau aku yang menabrak dirinya? Entah mana yang benar.
"M-maaf."
"Aku juga." Ujarku.
Segera aku langkahkan kakiku ke luar kelas, menuju ruang guru karena aku ada urusan sedikit. Apa itu urusannya? Perlombaan Gambar. SMA tempat aku mengenyam pendidikan ini, yaitu SMA Adikara, sedang mengadakan lomba kesenian tahunan untuk mencari pelaku seni muda. Urusanku bersama Guru Seni yang menjadi panitia lomba kesenian tahun ini. Aku hendak meminta waktu tambahan untuk mendaftar gambaranku dikarenakan sketsa gambarku hancur oleh bola basket pagi ini. Sialan betul laki-laki berbadan tinggi itu. Aku doakan kakinya patah atau tangannya patah.
Aku memasuki ruang guru dan mengucapkan salam. Segera mendatangi meja guru seni yang orangnya sedang makan tahu sumedang.
"Pak, maaf menganggu. Saya mau bicara dengan Bapak sebentar."
Dia melirikku. Mulut asik mengunyah tahu sumedang. "Mika, kamu lagi. Minta waktu lagi kan?".
Dia seorang esper atau apa, kenapa dia tahu maksud dan tujuanku mendatanginya sore-sore begini. Agar tidak mendapatkan ceramah panjang dan buang-buang waktu darinya, segera aku keluarkan buku gambarku dan memperlihatkan sketsa yang telah aku buat... Dengan bekas hantaman bola basket ditengah-tengah nya.
"Lah, kenapa kotor gini," tanya pak guru seni yang namanya... Aku melirik bagaikan kilat ke papan nama di mejanya; Anwar Kosasi - Guru Kesenian.
"Enigma. Berhubung dengan wanita, bola basket, dan laki-laki tinggi."
Dia menengadahkan tangannya, memintaku menyerahkan buku gambarku. Segera aku serahkan buku gambarku. Dia lihat secara seksama sambil tangan memasukan satu persatu tahu sumedang. Lama-lama ngiler juga ngeliat dia makan tahu sumedang.
"Bagus banget ini mah, sayangnya kotor. Yakin mau daftarin ini gambaran?".
Segera ku sanggah. "Karena kotor, saya daftarin lusa pak."
Dia taruh buku gambarku ke mejanya. "Halah, halah. Gitu aja terus dari kemarin. Ini progress lomba gambar terhambat gara-gara kamu aja, Mika. Harus selesai besok. Titik."
Aku sewot. "Saya pengennya juga besok pak. Tapi gimana, namanya juga musibah."
Dia lirik gambaranku. "Makanya main bola basket jangan bawa buku gambar."
Aku tidak ingin mengadu siapa yang harus bertanggung jawab atas gambaranku yang kotor ini. Tidak ada gunanya juga, adanya barabe urusannya. Lagian kata si pelaku tidak sengaja. Kalau disengaja baru aku mengadu, menangis, dan mengeluarkan tantrum sambil guling-guling dan koprol di lantai.