Sakit di seluruh badanku dikalahkan oleh cerewetnya Ibu dan Kakak yang marah-marah karena aku pulang babak belur. Sekarang, gendang telingaku hampir pecah karena cerewetnya mereka. Kakak memintaku buka mulut, tidak aku turuti. Alhasil kakak tidak banyak omong lagi setelahnya, Ibu juga sama, alih-alih marah menerus dia pergi entah kemana. Semoga dia tidak mengikuti aksi si pria tua yang telah menghilang selama 11 tahun.
Orang-orang sok jagoan itu lebih baik kita diamkan. Mereka pun sudah dewasa (sepertinya), tahu akan konsekuensinya jika mereka terus menerus menindas orang lemah seperti ku. Tapi aku berani jamin, penindasan kepadaku ini akan mereka lakukan sekali dan terakhir kalinya. Dari mana keyakinan ku berasal ini? Dari si berbadan besar yang nampaknya pemimpin berandalan itu. Wajahnya sempat ragu saat aku beradu argumen dengan si badan tinggi. Nampaknya dia menggunakan otaknya, mungkin dia akan membuat si badan tinggi berkata jujur.
"De."
"Hmm."
"Kenapa sih kamu terus."
"Aku pun bertanya-tanya, kak. Kenapa aku terus."
Dia kesal. Ditarik lah jambang ku yang lebat macam hutan tropis hingga termereng-mereng kepalaku. "Lawan kek! Kamu kayak gini lama-lama bisa mati!".
Mata memerah dan berkaca-kaca. Khawatir sekali kakak tercintaku ini. Ya jelas lah. Bila posisinya dibalik sekarang, kakak yang babak belur dan aku yang merawat lukanya—Tidak, mungkin tidak terpikir di otakku merawat lukanya. Adanya aku mencari biadab yang melukai kakakku.
"Selow, kak. Kan udah sering juga aku begini sejak kecil."
Pecah lah tembok waduk yang menahan air matanya. Air mata mengalir deras hingga membasahi pipinya. Sekarang aku yang merasa bersalah karena membuatnya khawatir.
"De, mulai besok pulang sekolah sama kakak ya."
Segera aku berdiri. "Ogah! Kayak bocil aja!".
Dia tak mau kalah, ikut berdiri dengan tangan di pinggang, nah barusan mirip banget sama Ibu kalo udah marah besar. "Biarin! Aku juga bodo amat, de, kalo dibilang saudaraan sama monyet. Yang penting kamu gak babak belur begini lagi!".
Sekarang aku jadi dendam kepada si badan tinggi. Gara-gara mulut macam cewek itu jadinya ultimatum 'pulang bareng' keluar dari mulut kakak. Argh! Tambah lagi kakak ada kegiatan di OSIS dan lagi sibuk-sibuknya dengan mengurus kepengurusan terakhir angkatan OSIS kakak. Makin malam aku pulangnya. Sialan.
•••
Kucing menjerit dan salto ke belakang hingga terjatuh ke tanah tatkala melihat wajahku yang macam dedemit hutan. Mata biru, pipi bengkak, wajah penuh bulu, beuh. Kalo ajuin cosplay jadi monster bernama Orc aku jamin juara satu. Sumpah dah.
Sepanjang perjalanan juga banyak mata yang melirik ke wajahku. Dari tatapannya bisa aku tebak, 'demit lepas nih', atau, 'gila, ada kuncen pagi-pagi bolong', atau, 'ada pasien RSJW kabur nih'. Persetan, persetan. Sudahnya wajahku macam monyet malah berevolusi jadi Orc. Mungkin kalo ketemu Orc beneran, bisa-bisa mereka ogah dianggap saudara sama aku.