Aku bangun dari tidurku karena mendengar suara es krim campina yang sering lewat di blok rumahku. Aku gosok hidungku yang gatal, sulit bernafas. Aku tarik nafas sekencang mungkin dan terasa ada yang menahan lubang hidungku untuk bernafas. Sial, aku demam. Tenggorokan sakit, mata terasa berat, dan malas melakukan aktivitas apapun.
Aku membaringkan badanku lagi. Belum ada semenit kepalaku bertemu bantal, kakak sudah berteriak dari lantai satu memanggilku untuk turun.
"De! Ada tamu nih!".
Dengan berat hati meninggalkan kasurku yang menjanjikan kenikmatan dunia, aku pun melangkah keluar dari kamarku. Bersin menggelegar saat menuruni tangga menuju lantai 1. Isi hidungku yang mampet meluber ke mana-mana. Segera aku tarik nafas, menahan isi nistanya tidak keluar lagi dari hidungku. Kakak berdiri di tangga, wajah gelisah setelah melihatku bersin brutal.
"Sakit, De?".
"Pake nanya. Siapa yang berkunjung ke rumah habis kebakaran ini?".
Kakak menoleh ke arah pintu, aku ikut melihat ke arah pintu. Tertutup, tidak ada satupun makhluk yang kakak sebut tamu. Macamnya dia biarkan saja tamu yang berkunjung ke rumah ini di luar rumah.
Aku tarik cairan nista yang hendak mengalir keluar di hidungku. "Aku sakit gini, kak. Mana bisa terima tamu."
"Dia tamu mu."
Siapa gerangan tamuku? Preman pasar mengkudu? Rasa-rasanya tidak mungkin. Teman? Siapa pula temanku? Mana ada orang yang hendak berteman dengan wajah macam Pithecanthropus Erectus ini.
Tapi mari kita lihat siapa tamu yang datang untukku. Segera langkah kakiku menuju pintu rumah. Aku buka pintunya, terlihat seorang gadis tambun dengan tas kuning di tenteng, dan rambut di ikat poni. Apa gerangannya datang kemari? Tak ada urusan pun sama dia.
"Mik, aku bawain tugas print dari Bu Ika."
Tangannya mengadah dengan jilid tugas yang isinya tumpukan soal. Aku ambil dari tangannya, membuka isinya, ternyata tugas Ekonomi. Deadline harus dikumpul minggu depan. Untungnya bukan besok atau lusa. Keadaan demam begini mau bertumbuk dengan soal sebanyak ini adanya tipes.
"Oh, makasih."
Hendak segera aku tutup pintuku. Gak ada niat sama sekali menerima tamu dari seorang gadis hari ini. Kapanpun, siapapun, enggan aku terima tamu. Terutama cewek.
"T-tunggu, Mik. Aku mau nanya sesuatu."
Baru setengah pintu tertutup. Aku toleh kepalaku ke arahnya. Wajah serius, ada apa gerangan? Apakah mengantarkan print tugas hanya alibi belaka karena dia punya maksud dan tujuan tersendiri menemui ku?
Aku buka lebar lagi pintu rumahku. "Apa?".
Segera dia sibuk meraih saku rok abu-abunya. Dia ambil sebuah ponsel dengan case merah muda dan dia geser-geser permukaan ponselnya. Tak lama kemudian dia menunjukkan lukisan seorang bocil yang sangat cantik sedang membawa buku, duduk di meja kelas. Setan alas, lukisanku di panjang di gedung olahraga. Hari ini penilaian lomba lukis, tapi tidak kusangka akan dipajang dan dipertontonkan ke publik sekolah.
"Ke-kenapa kamu daftarin lukisan ini?".
Emm... Bukankah dia harusnya bertanya, 'kenapa kamu gambar ini', kan?
"Kenapa memangnya? Ada masalah denganmu?".
Bukan dia juga yang aku lukis, melainkan bocil yang bikin kesialan dalam hidupku.
Mulut membuka menutup. Ragu mengatakan sesuatu. Pipi merona, hingga ke telinga. Keringat mencucur dari pelipisnya. Dia menundukkan kepalanya dan memperlihatkan pusar kepalanya kepadaku. Sungguh aneh dengan si gadis tambun.