Ruang BK, tempat sakral bagi warga sekolah karena masuk ada masalah, keluar dihakimi seolah terdakwa pelaku pembunuhan. Siapapun yang keluar masuk ruang BK akan terkena cap 'anak nakal'. Padahal, anak nakal yang sebenarnya berkeliaran bebas dengan aksi bejadnya menindas yang lemah.
Lingkungan sekolah memanglah tidak sempurna, tapi fungsi sekolah sebagai tempat aman untuk siswa lumayan bergeser ketika oknum pendidik tutup mata akan tindak asusila yang terjadi kepada siswanya. Tidak semua pelaku pendidik ya, aku juga bilang oknum. Tidak menggeneralisasi, tapi hampir semua begitu. Alasan para oknum pendidik menutup mata hanya ada dua; bukti kurang kuat karena kejadian asusila dari mulut ke mulut atau orang tua pelaku tajir melintir hingga dapat menyumpal uang ke pelaku pendidik untuk diam atas tindakan bejad anaknya.
Tindak asusila memanglah sering terjadi jika seseorang terjun ke lingkungan sosial bermasyarakat. Pasti ada, pasti. Namun tindak asusila tidak terjadi tanpa sebab. Rule of survival yang membuat tindak asusila terjadi. Yang kuat bertahan, yang lemah mati. Seseorang yang punya kekuatan secara fisik dan material, alias superior, maka dia dengan mudah merasa berkuasa lalu melakukan tindak asusila. Sebaliknya, yang tak punya kekuatan fisik dan material adalah objek mainan bagi orang-orang superior.
Bocah SD merasa kuat, bisa mengalahkan teman-teman SD nya dalam perkelahian culun saja terkadang melakukan hal-hal bejad.
"Preman mana kali ini? Distrik merah?".
Aku garuk-garuk kepala. Aku sudah izin 3 hari sejak kebakaran rumah. Demam yang melanda kesehatan tubuhku mulai sembuh, kecuali hidung yang penuh lendir nista.
"Bu, saya baru balik ke sekolah. Rumah saya baru kebakaran, loh. Tolong lah jangan sekap saya di ruang astral ini."
"Eh, mulutmu dijaga ya! Ini bukan ruang astral, tapi penjara siswa!".
Makin parah.
Sekarang, saudara-saudara sekalian pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa masuk ruang BK lagi, bukan? Alasannya simpel, wajahku makin berantakan. Pipi kiri yang macam bola kasti dan jika ditusuk oleh jarum akan memuntahkan nanah nista. Sungguh pipi ku ini akibat dampart si gadis tambun itu. Sudahnya masih bengkak setelah dihajar preman sekolah, malah dia dampart. Sungguh nista dia, semoga dia diludahi Dewi Fortuna.
"Tapi aku heran, cuman kamu satu-satunya orang yang gak sayang sama muka sendiri." Ujar Bu Ira.
"Bah, ampas. Kapan saya bilang tidak sayang sama muka sendiri."
Bu Ira langsung menunjuk pipiku yang bengkak. Aku bisu seribu bahasa, tak bisa menyanggah perkataannya.
"Bu, hidup saya ini macam enigma. Sulit ditebak."
"Siapa bilang hidupmu aja macam enigma? Jangan sok jadi pujangga! Jujur aja, biadab mana yang buat kau babak belur lagi."
Wow, kasar. Kendati yang buat pipiku seperti ini adalah seorang gadis tambun yang marah tanpa alasan kepadaku.
"Bu, wajah saya emang berantakan. Dibuat berantakan sama orang udah biasa. Kalo saya mengadu kepada Ibu, tidak ada gunanya. Tidak membuat wajah saya balik tampan dan rupawan."