Insiden adalah kata pertama saat aku dan kakak memasuki gedung olahraga. Semua orang—paling orang-orang panitia lomba, berkumpul memenuhi satu tempat dimana lukisan lomba berada. Kakak dan aku segera mendatangi kerumuman itu, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Terdengar suara Pak Anwar marah-marah kepada seseorang. "Kenapa bisa hilang?! Kalian kemana aja pas jaga!".
Lawan bicara Pak Anwar hanya diam dengan wajah memucat. Hilang, kan kata Pak Anwar tadi? Ada lukisan yang hilang? Siapa juga orang kurang kerjaan mencuri lukisan lomba anak SMA yang nilai jualnya masih perlu dipertanyakan. Aku dan kakak masih tidak bisa ikut masuk ke kerumunan. Kakak celingak-celinguk tidak jelas, aku diam saja sambil meningkatkan indra pendengaran ku.
Tiba-tiba ada yang memegang pundakku. Aku toleh kepada orang yang seenak jidat memegang pundakku. Ternyata Kak Safina, sahabat kakak.
"Loh, Mik, mukamu makin ganteng deh."
Sarkastik sekali orang ini. Dia bisa sahabatan sama kakak karena satu frekuensi; sama-sama gila.
"Na! Ada apa nih? Kenapa Pak Anwar marah-marah?" Tanya Kakak.
Kak Safina melipat tangannya. "Ada lukisan yang hilang, Rin."
Aku jadi penasaran, lukisan siapa yang hilang. Aku pun meniatkan untuk bertanya kepada Manusia Sarkastik ini.
"Lukisan siapa?".
"Entah, nama pelukisnya anonim. Tapi judul lukisannya, Arunika Wardani."
Seketika aku berteriak histeris macam gadis di malam pertamanya bersama suaminya. Kakak terperanjat, begitu juga Kak Safina. Semua orang terperanjat mendengar teriakan histeris ku. Semua menoleh ke arahku.
Sepertinya teriakkan ku bukan seperti gadis di malam pertamanya, tapi macam manusia purba yang berteriak karena sudah masuk musim kawin. Nista sekali.
"De, tenang dikit napa!" Ujar kakak, sekalian kepalaku kena gaplok olehnya.
"Tenang gimana, kak! Lukisan terkutuk itu hilang, aku senang!".
Aku berteriak histeris bukan karena kesal lukisan itu dicuri, tapi karena bahagia. Gimana tidak bahagia? Itu lukisan terkutuk dan traumaku ada diabadikan dalam kanvas itu. Pipiku yang bengkak ini juga karena lukisan itu. Harus lah aku bahagia! Kutukan akhirnya hilang entah kemana!
"Itu lukisan kamu, Mik? Cakep banget cewek yang kamu gambar. Cinta pertamamu?" Tanya kak Safina.
"Bukan, setan dalam hidupku." Balasku tidak terima.
Tiba-tiba Pak Anwar datang diantara kami bertiga. Dia menoleh kepadaku dan geleng-geleng kepala. "Mik, Bapak minta maaf. Lukisanmu hilang."
Aku tersenyum cengir. "Loh, gak papa, pak! Bagus lagi malahan."
Pak Anwar menghela nafas panjang, lega. Dia gosok-gosok janggutnya yang macam kambing itu. "Syukurlah kamu gak marah. Sekarang Bapak tinggal eliminasi saja lukisanmu dari daftar lomba."
... Sebentar.
"Maaf, pak. Gimana tuh maksudnya?".
"Hmm? Lukisan kamu hilang, jadi harus di eliminasi."