Dengan langkah berani bak memegang dosa dan beban dunia, aku menuju ruang basket ekskul yang jaraknya tidak jauh-jauh amat dari gedung olahraga.
Pintu terbuka sedikit. Kemungkinan besar bajingan itu sedang ada di dalamnya, bisa juga anggota basket yang lain. Aku harap dia sendirian, aku mau selesaikan masalah ini baik-baik. Kalau ada orang barabe dan aku kena gebukin lagi.
Selesaikan baik-baik itu seperti apa di kampusku? Dari mulut ke mulut. Tapi kalau lawanku otaknya di mata kakinya, maka hanya bogem jawaban terakhirnya; Duel sampai ada yang babak belur atau mengalah.
Aku intip sedikit ke dalam ruang ekskul basket. Terlihat siluet seseorang berbadan tinggi sambil bermain bola basket sendirian. Dia lempar bola basketnya ke dinding, bola itu kembali memantul ke arahnya. Begitu saja terus sedari tadi kulihat. Tapi tidak ada kulihat bentuk kanvas di ruangan ekskul.
Segera aku membuka kedua pintu ekskul dengan lebar. Si Arhan kaget melihatku, bolanya jatuh ke lantai dan menggelinding ke arahku. Aku ambil bola basket itu dan memantul-mantulkannya.
"E-eh? Ka-kamu Mika anak kelasku kan? Gu-guru suruh kamu cari ak—".
"Bacot. Mana lukisanku?".
Dia terperanjat. Bola mata memutar setengah derajat, mulut buka tutup bak ikan koi, keringat mengalir dari kening ke pipinya. "Lukisan apa ya?..."
Aku ingat satu-satunya petunjuk pelaku pencurian yaitu bercak sepatu. Aku lirik ke arah sepatunya memastikan apakah dia memang pelakunya, walaupun sebenarnya tidak perlu dipastikan.
Kotor. Sepatunya penuh bekas tanah yang lembek setelah hujan tengah malam kemarin. Kemungkinan lukisanku tidak ada ruang ekskul basket. Dia sudah larikan ke tempat lain. Sebelum dia mencuri, dia sudah siapkan tempat untuk menyembunyikan lukisanku. Aku akui dia sedikit cerdik dengan tidak menyembunyikan lukisanku di ruang ekskul basket dengan beberapa alasan; dia tidak ingin nama ekskul basket jadi jelek karena dia ketahuan mencuri lukisan atau dia takut digebukin oleh anggota ekskul basket kalo ketahuan mencuri lukisan lomba.
Tapi dia salah. Cari masalah denganku lebih buruk daripada digebukin atau mencoreng nama klub basket. Jika saja lukisanku tidak dieliminasi dan dianggap tetap ikut lomba, aku biarkan saja melakukan apapun dengan lukisan itu. Tapi gara-gara si bangsat ini... Apel emasku... Uang juara 1 ku....
Aku melempar bola basket dengan satu tangan tapi sepenuh tenaga yang aku punya. Mengenai kepalanya hingga dia terjatuh.
"Anjing! Bangsat ni anak, kau gak takut kena gebukin lagi—".
"Kalo kau laki-laki, lawan aku di belakang sekolah setelah pulangan."